Childfree menjadi marak diperbicangkan akhir – akhir ini karena seorang influencer terkenal mengemukakan pendapatnya dalam komentar di salah satu sosial media. Childfree bukanlah sesuatu yang baru dan sudah sering juga diangkat ke media. Bahkan akhir tahun lalu BBC Indonesia juga sempat mengangkat tema ini dalam tajuknya dan tentu saja banyak pro kontra di dalamnya. Aku pribadi sebagai penggemar kpop, kdrama dan hal korea – korean sudah biasa mendengar pandangan ini karena banyak kasus di negara itu terkait childfree bahkan marriagefree diantara warganya.
Lalu apa sih sebenarnya childfree itu ? Dari padanan kata kita sudah bisa melihat
perbedaannya dari marriagefree. Jika
penganut marriagefree sama sekali tak
mau menikah dan berkeluarga karena macam – macam hal. Maka penganut childfree tidak memiliki resistansi
terhadap pernikahan, namun mereka tidak ingin memiliki keturunan karena alasannya
masing – masing.
Menurutku pribadi tidak ada yang salah dengan childfree ini karena itu adalah pilihan
dari masing – masing pasangan suami istri untuk melakukannya. Childfree sendiri bisa membuat
penganutnya lepas dari berbagai macam tanggung jawab dan biaya membesarkan anak
serta biaya hidup yang harus diakui nilainya tidak sedikit di masa sekarang
ini. Selain terkait hal itu perubahan iklim yang terjadi serta krisis dan
kerentanan pangan global membuat konsep childfree
bisa mengurangi tekanan tersebut. Namun konsep ini juga mengakibatkan dampak
buruk jika terjadi secara masif di suatu negara contohnya saja yang akhir –
akhir ini bisa kita saksikan di media adalah pada negara China, Korea Selatan
dan Jepang dimana mereka mengalami depopulasi atau penurunan pertumbuhan
penduduk.
Ketiga negara tadi bahkan melakukan langkah – langkah
ekstra untuk membuat warganya mau memiliki anak. Mulai dari memberikan
tunjangan anak, memberi jatah cuti bagi orang tua yang memiliki anak bahkan
China sampai menghapus kebijakan satu anaknya untuk menggenjot populasi.
Mengapa mereka sampai melakukan hal yang demikian ? Jawabannya adalah perekonomian
negara – negara tersebut bisa “tenggelam” akibat pandangan childfree yang begitu masif tadi.
Beberapa
hari lalu aku dan beberapa sahabat berbincang larut malam tentang topik “Japan lost decade”. Jepang adalah contoh
nyata dari buruknya dampak childfree
bagi perekonomian. Pada dekade 1990 an ekonomi Jepang mengalami stagnasi dan
sulit untuk tumbuh hingga mengalami “dasawarsa yang hilang” tadi. Sebelumnya
Jepang adalah perekonomian terbesar kedua di dunia tetapi karena “lost decade” ini mereka disalip oleh
China pada 2010 lalu. Childfree
memang bukan penyebab utama Jepang mengalami hal itu, namun konsep tersebut
membuat negara produsen anime ini menjadi sulit untuk bangkit. Tingkat
kelahiran di Jepang sudah mengalami titik krisis. Bahkan menurut Menteri
Kesehatannya tingkat kelahirannya kurang dari 800.000 atau terendah sejak
mereka mulai mencatat kelahiran pada tahun 1899. Selain itu pendapatan
perkapita Jepang mengalami penurunan dari USD 50.000 menjadi USD. 43.000 pada
tahun 2020 lalu.
Para ahli menyimpulkan kurangnya ruang di perkotaan
membuat orang tua kesulitan mengasuh anak. Selain itu pendapatan yang menurun
juga membuat beban mengurus anak menjadi semakin berat. Maka childfree menjadi pilihan, bahkan jika
tidak memilih childfree mereka memilih
menikah dengan hal – hal aneh mulai dari karakter anime, boneka seks bahkan
hingga tiang listrik. Hal tadi mengakibatkan Jepang mengalami krisis demografi
dimana populasi semakin menua sementara kebutuhan tenaga kerja tak dapat
terpenuhi oleh generasi muda karena rendahnya kelahiran. Kurangnya tenaga kerja
membuat roda perekonomia terhambat dan sulit bangkit, pendapatan menurun dan
beresiko membuat makin banyak orang Jepang tak ingin memiliki anak atau bahkan
menikah.
Apa yang terjadi di Jepang saat ini sudah mulai terjadi
di Korea Selatan dan China. Korea sudah mencatat dua kali penurunan pertumbuhan
penduduk dan China untuk pertama kali sejak krisis pangan pada masa Mao Zedong
mengalami penurunan jumlah penduduk. Sehingga ketiga negara tadi memutar otak
membuat kebijakan agar kelahiran dapat meningkat lagi. Nah sekarang apakah
pandangan influencer tadi yang
mempromosikan childfree membuat
Indonesia berpotensi mengalami hal yang sama ? Jawabannya Indonesia belum
mengalami hal itu karena pertumbuhan penduduk kita masih di atas 2% lebih
sedikit. Tapi jika melihat beberapa artikel yang mengangkat tema childfree sebenarnya pandangan ini mulai
menjangkiti pasangan – pasangan muda utamanya di kota besar.
Aku sendiri bukan penganut pandangan ini, namun aku
pribadi lebih berpandangan bahwa sebelum berumah tangga dan memiliki keturunan
hendaknya perlu mempersiapkan mental kita. Karena membangun keluarga bagiku
bukan sekedar terkait materi saja namun juga perlu mental yang baik. Semakin
banyak orang muda yang bercerai bukan karena kurangnya materi namun justru
karena sudah merasa tak sejalan. Jika sudah seperti ini yang jadi korban bukan
hanya si pasangan saja namun juga keturunannya. Lalu jika memang nantinya
diberi amanah keturunan pasangan sudah lebih siap lahir batin jika mentalnya
dipersiapkan sejak sebelumnya. Tapi intinya paham tadi memiliki dampak yang
buruk bagi perekonomian suatu negara dalam jangka panjang.
So, jadi itu pandanganku untuk masalah ini. Jika kalian
punya pandangan berbeda tentang childfree
ini it’s up to you. Because your life is your own choice’s. Sorry for bad english hehehe sesekali
pengen sok Inggris hahaha.
0 comments:
Silahkan Bacot