SEJARAH
KOPERASI DUNIA
Oleh
Hutama Muhammad Anhar
LATAR BELAKANG TIMBULNYA
ALIRAN KOPERASI
Dalam konteks historis kita mengenal adanya dua
sistem ekonomi ekstrem yaitu sistem kapitalisme dan sosialisme. Pada
perkembangannya selanjutnya muncul sistem ekonomi campuran yang mencoba
menggabungkan kedua sistem ekstrem tersebut. Sejarah koperasi memang tidak bisa
dilepaskan hubungannya dengan perkembangan sosialisme yang merupakan antitesis
dari kapitalisme yang berkembang di Eropa. Memburuknya kinerja kapitalisme yang
ditandai dengan terjadinya depresi ekonomi dengan indikasi banyaknya
pengangguran dan kelangkaan barang, mendorong munculnya gerakan dari
orang-orang yang tertindas ekonominya seperti kaum buruh untuk mewujudkan ide
tentang koperasi.
Adanya perbedaan sistem perekonomian dalam
pemerintahan akan mempengaruhi aliran yang dianut oleh koperasi. Misalnya, di
Indonesia, ideologi Pancasila dan sistem perekonomian yang terdapat di dalam
Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 akan memberikan warna dan misi dari koperasi
di Indonesia. Oleh karena itu, sistem perekonomian yang dianut oleh suatu
negara akan berkaitan erat dengan aliran koperasi yang ada pada negara
tersebut. Secara garis besar Paul Hubert Casselman membagi aliran koperasi
menjadi 3 aliran yaitu aliran Yardstick, aliran sosialis dan aliran
persemakmuran.
Aliran Yardstick pada umumnya dijumpai pada negara yang
memiliki ideologi kapitalis atau yang menganut sistem perekonomian liberal.
Menurut aliran ini koperasi dapat menjadi kekuatan untuk mengimbangi,
menetralisasikan dan mengoreksi berbagai kebutuhan yang ditimbulkan oleh sistem
kapitalisme. Walaupun demikian, aliran ini menyadari bahwa organisasi koperasi
sebenarnya kurang memiliki peranan penting dalam masyarakat, khususnya dalam
sistem dan struktur perekonomiannya. Hubungan pemerintah dengan gerakan
koperasi bersifat netral. Hal ini berarti pemerintah tidak melakukan campur
tangan terhadap keberlangsungan hidup koperasi di tengah masyarakat. Pemerintah
memberlakukan koperasi dengan swasta secara seimbang dalam pengembangan
usahanya sehingga maju tidaknya koperasi tetap terletak di tangan anggota
koperasi sendiri. Pengaruh aliran Yardstick ini cukup kuat terutama di
negara-negara barat dimana industri berkembang dengan pesat di bawah sistem
kapitalisme antara lain seperti Amerika Serikat, Perancis, Swedia, Denmark,
Jerman, dan Belanda.
Berbeda dengan aliran Yardstick maka lahirnya aliran
sosialis ini tidak terlepas dari berbagai keburukan yang ditimbulkan oleh
sistem kapitalisme. Karena itu pada abad XIX pertumbuhan koperasi di
negara-negara barat sangat didukung oleh kaum sosialis. Menurut aliran ini
koperasi dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, menyatukan rakyat lebih mudah melalui
organisasi koperasi. Akan tetapi,dalam perkembangannya, kaum sosialis kurang
berhasil memanfaatkan koperasi bagi kepentingan mereka. Kemudian kaum sosialis diantaranya
berkembang menjadi kaum komunis mengupayakan gerakan koperasi sebagai alat
sistem komunis sendiri. Koperasi dijadikan sebagai alat pemerintah dalam
menjalankan program-programnya sehingga otonomi koperasi menjadi hilang. Aliran
ini banyak dijumpai di negara Eropa Timur dan Rusia.
Pada
aliran Persemakmuran, koperasi dipandang sebagai sarana yang efektif untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa
upaya untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki rakyat terutama yang memiliki
skala kecil akan lebih tepat dilakukan dengan media koperasi. Penganut aliran
ini meyakini bahwa organisasi ekonomi sistem kapitalis tidak akan menjadi
sokoguru perekonomian. Sebaliknya mereka menyatakan bahwa koperasi memegang
peranan utama dalam struktur perekonomian masyarakat. Pemerintah dalam hal ini
berperan sebagai mitra (partnership) yang menciptakan iklim yang kondusif agar
koperasi tumbuh dengan baik.
TERJADINYA REVOLUSI
INDUSTRI
Perkembangan industri yang terjadi di
negara-negara Eropa cenderung memprioritaskan kaum kapitalis yang memiliki sifat
individualistis. Hal ini membawa peluang pada tujuan utamanya yaitu mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya (profit maximization) dari pemilik
faktor produksi yang lain yaitu pemilik tanah dan pekerja. Sebelum terjadinya
revolusi industri, struktur pasar pada masa tersebut masih mendekati pada
struktur pasar persaingan sempurna yang ditandai oleh mudahnya penjual dan
pembeli bebas masuk ke dalam pasar. Perusahaan-perusahaan yang ada dalam
struktur pasar tersebut tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan harga
karena harga lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar.
Pada kondisi ini, produsen tidak bisa menentukan tingkat
harga namun sebagai price taker. Tinggi rendahnya harga merupakan hasil
dari mekanisme pasar sehingga keuntungan yang didapatkan hanya sedikit. Di sisi
lain,kondisi tersebut memungkinkan tercapainya kesejahteraan masyarakat karena
konsumen menikmati harga yang rendah, sedangkan pemilik faktor produksi dibayar
dengan tingkat harga yang memadai
Perubahan ekonomi terjadi ketika ditemukannya mesin-mesin
baru dalam revolusi industri. Sistem pasar berubah dari sistem persaingan
sempurna menjadi persaingan monopoli. Sistem ini merupakan kebalikan dari
bentuk pasar persaingan sempurna dengan karakteristik sebagai berikut. Pertama,
pasar hanya dikuasai oleh satu penjual; kedua, adanya hambatan masuk (barrier
to entry) ke dalam pasar; dan ketiga, tidak adanya barang substitusi yang
sempurna. Adanya halangan masuk ke dalam pasar menyebabkan seorang produsen
monopolis dapat memaksimalkan keuntungannya. Produsen dimungkinkan untuk
menentukan harga pasar, sehingga monopolis tersebut bisa bertindak sebagai
penentu harga (price setter) dalam usahanya mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya. Pada kondisi ini produsen akan mendapatkan keuntungan (pure
profit), yaitu keuntungan diatas batas normal untuk membayar biaya
produksi. Pengusaha cenderung melakukan pemupukan modal (accumulation of
capital).
Pada kondisi pasar monopoli tersebut maka pengusaha
dihadapkan pada dua permasalahan, disatu sisi dia harus menetapkan harga cukup
tinggi sementara disisi lain ia harus membayar faktor produksi dengan tingkat
yang cukup rendah dan menggunakan sumber daya secara tidak efisien. Upah yang
rendah tersebut menyebabkan terjadinya keresahan dikalangan buruh sehingga
mereka bersatu dan Adam Smith menciptakan serikat buruh untuk menghadapi
kapitalisme. Upaya Smith kemudian diteruskan oleh Karl Marx yang terkenal
dengan aliran sosialisme yang pada intinya menganjurkan agar negara mengelola
keuntungan dan tidak hanya dimonopoli oleh perorangan. Oleh karena itu,perlu
diwujudkan koperasi sebagai wahana untuk mengembangkan peran swadaya dan
kebersamaan kaum buruh.
TIMBULNYA KOPERASI
PERINTIS ROCHDALE
Dampak
berkembangnya industri yang sangat cepat menyebabkan kaum buruh kesulitan dalam
mempertahankan perekonomiannya. Kondisi ini menyebabkan Robert Owen, seorang
direktur pabrik tenun, dan William King tergerak untuk memberikan pertolongan.
Robert Owen mendorong dan memberikan fasilitas bagi berdirinya koperasi bagi
buruh pabriknya dengan memberikan monopoli bagi pendirian toko-toko disekitar
pabriknya. Sementara itu William King, seorang dokter, mendorong buruh untuk
berkoperasi. Usaha perkoperasian yang dirintis pada tahun 1928 berkembang cepat
sehingga dalam kurun waktu hanya dua tahun jumlah koperasi meningkat pesat
sehingga mencapai 10 buah.
Rintisan
dari Owen dan King pada akhirnya mengalami kemunduran setelah keduanya
meninggal. faktor eksternal berupa rintangan dari pihak majikan yang kurang
senang melihat buruh bersatu dalam koperasi dan adanya rintangan dari pedagang
yang takut akan desakan usahanya. Sedangkan faktor kedua, intern yang merupakan
faktor terpenting yaitu kurangnya keinsafan berkoperasi dari buruh/anggotanya.
Hal ini disebabkan berdirinya koperasi pada saat itu lebih banyak karena
anjuran dari orang luar, bukan buruh yang dalam hal ini adalah Owen dan King. Koperasi
yang dana dan fasilitasnya berasal dari luar anggota dirasakan gagal oleh kaum
buruh walaupun mereka sudah melihat beberapa aspek yang baik dari koperasi
antara lain berupa adanya peningkatan kesejahteraan anggotanya. Oleh karena
itu,atas kesadaran sendiri sebanyak 28 orang buruh mencoba mempelopori
berdirinya koperasi di Rochdale. Mereka yang disebut Rochdale Pioneers
meneliti dan menemukan kelemahan dari koperasi yang diprakarsai Owen dan King.
Setelah
dievaluasi dalam Rapat Anggota ditemukan bahwa kelemahan yang disebabkan
kebangkrutan koperasi sebelumnya adalah:
1. Koperasi memberikan
kesempatan pada anggotanya untuk berbelanja dengan berhutang. Hal ini
menyebabkan hutang anggota menumpuk sehingga akhirnya koperasi kehabisan modal.
2. Banyak anggota yang kurang
setia kepada koperasi meskipun sudah disediakan toko oleh koperasi, tetapi
banyak yang tidak memanfaatkan dengan berbelanja ke toko lain.
3. Seringkali ada anggota yang
bersedia memasukkan modal hanya dengan tujuan untuk mendapatkan pembagian
keuntungan sebanding dengan jumlah uang yang disetorkannya.
4. Adanya saingan dari toko
lain yang melakukan tipu muslihat, misalnya dengan menetapkan harga yang lebih
rendah. Hal ini dilakukan dengan membuat barang yang kurang bermutu
PRINSIP-PRINSIP ROCHDALE
(1) Pembelian barang secara
tunai;
(2) Keuntungan dibagi atas
dasar intensitas keterlibatan anggota dalam koperasi;
(3) Pemberian bunga atas modal
dibatasi;
(4) Barang-barang dijual
dengan harga pasar;
(5) Koperasi menyediakan
barang dengan kualitas yang baik dan dengan pertimbangan yang benar.
Dalam perkembangan koperasi prinsip Rochdale yang dijadikan
landasan berkoperasi mengalami penegasan dan pengembangan. Selain lima prinsip
yang sudah disebut, prinsip berikut dijadikan juga prinsip Rochdale:
1.Keanggotaan terbuka untuk
umum. Tidak ada hambatan untuk masuk dan keluar dari koperasi (tidak ada barrier
to entry dan barrier to exit).
2.Netral terhadap agama dan
politik.
3.Satu orang satu suara (one
man one vote).
4.Sebagian dari sisa hasil
usaha harus dicadangkan untuk menambah modal, pendidikan, dan kesejahteraan
sosial.
Prinsip
Rochdale yang berlaku secara Internasional itu kemudian dipilah menjadi dua
yaitu prinsip primer dan prinsip sekunder. Prinsip primer meliputi :
a) keanggotaan berdasar
sukarela;
b) Susunan dan kebijaksanaan
pimpinan diatur secara demokratis;
c) laba dibagi atas imbangan
jasa; dan
d) adanya pembatasan atas
bunga modal.
Sementara itu,prinsip sekunder
meliputi:
a) netral terhadap agama dan
politik;
b) pembelian secara kontan;
c) memajukan pendidikan
KOPERASI MODEL RAIFFAESSEN
Apabila Inggris sering disebut sebagai tempat kelahiran
koperasi (koperasi konsumsi) dengan prinsipnya yang dikenal dengan Rochdale
Principles maka Jerman sering disebut sebagai tempat kelahiran dari
Koperasi Kredit. Hal ini ditandai dengan tercetusnya pendirian koperasi simpan
pinjam di negeri itu pada pertengahan abad ke-19. Tokoh yang mendorong
kelahiran koperasi itu adalah Frederick William Raiffaessen (1818-1888) dan
Herman Schulze Delitzch, yang mendirikan koperasi kredit dengan pertimbangan
dan atas latar belakang pemikiran yang berbeda.
Frederich William Raiffaessen adalah seorang walikota di
Flemmerfeld, Weyerbush dan terakhir di Helderdof. Dalam kedudukannya sebagai
pejabat yang mengayomi rakyat, Raiffaessen merasa amat prihatin dengan
kehidupan rakyat dilapisan bawah. Nasib rakyat di pedesaan amat menyedihkan,
yang karena kemiskinannya mereka terjerat hutang pada tuan tanah, tengkulak dan
rentenir. Atas dorongan rasa kemanusiaannya Raiffaessen berusaha meringankan
beban rakyat, antara lain dengan mengadakan kumpulan simpan pinjam di kalangan
petani. Dengan dibantu oleh sejumlah dermawan dikota dimana Raiffaessen
bertugas, perkumpulan simpan pinjam itu dikembangkan yang akhirnya dikenal
sebagai Bank Rakyat (Peoples Bank).
Modal yang terkumpul disalurkan lewat buruh untuk keperluan
petani dengan ditetapkan tingkat biaya yang relatif rendah. Usaha yang dirintis
tersebut cukup banyak dirasakan manfaatnya oleh petani. Namun demikian setelah
melakukan evaluasi, Raiffaessen merasa kecewa. Hal-hal yang mengecewakan itu
antara lain:
1. Banyak petani yang menyalahgunakan
kredit yang dimintanya untuk kegiatan yang kurang penting. Hal ini antara lain
disebabkan bank tidak melakukan pengawasan atas penggunaannya dananya oleh
petani;
2. Ada kecenderungan
keuntungan yang didapat dari pembayaran bunga jatuh ke tangan pemilik modal;
3. Ada kecenderungan di
kalangan petani untuk gemar berhutang karena persyaratannya yang relatif mudah,
tanpa melihat kemampuan dan kebutuhannya;
4. Dengan model perkumpulan
simpan pinjamannya ternyata para petani belum bisa terbebas dari masalah
hutang.
Untuk itu,Raiffaessen mencoba merumuskan konsep self-help
(menolong diri sendiri) untuk mengembangkan koperasi. Rumusan upaya tolong
sendiri akhirnya dijelaskan dalam prinsip-prinsip dan cara kerja dari koperasi
yang dirintisnya sebagai berikut.
a.Usaha perkumpulan dimulai
dengan anjuran agar petani suka menabung meskipun dalam jumlah yang sedikit
uang yang terkumpul dari anggota ini akan bisa dimanfaatkan oleh petani yang
benar-benar memerlukannya dalam bentuk pinjaman.
b.Usaha perkumpulan diadakan
dalam lingkungan yang terbatas dan orang-orangnya masih bisa saling mengenal
sehingga selalu ada dorongan untuk selalu bekerja sama.
c.Untuk menjaga agar pinjaman
yang diberikan digunakan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuannya maka dilakukan
pengawasan atas penggunaan pinjaman itu.
d.Manajemen atau pimpinan
perkumpulan dipegang sendiri oleh anggota tanpa diberikan pembayaran upah.
e.Keuntungan yang diperoleh
dari pembayaran bunga dijadikan milik perkumpulan dan digunakan untuk
memperbesar modal atau untuk kepentingan masyarakat umum.
Dengan
aturan-aturan yang diterapkannya maka koperasi kredit model Raiffaessen
mengalami perkembangan yang pesat. Pada tahun 1885 terdapat 245 buah koperasi
simpan pinjam berkembang menjadi 425 buah pada tahun 1888. Pada tahun 1891
jumlahnya mencapai 885 buah dan melonjak menjadi 1600 buah pada tahun 1938.
GERAKAN KOPERASI DIJERMAN
Gerakan koperasi kredit model Raiffaessen yang terutama
menangani buruh tani dan petani gurem diikuti pula dengan gerakan koperasi yang
menjamin buruh industri dan pengusaha ekonomi lemah. Gerakan ini dipelopori
oleh Herman Schulze dari kota Delitzsch. Schulze, ketua Komisi Perdagangan
dalam Parlemen Prusia (Jerman) amat memprihatinkan kehidupan kaum buruh, tukang
dan pengusaha kerajinan rakyat di Jerman. Kehidupan mereka amat memprihatinkan bukan
saja karena tidak bisa bersaing dengan kaum industriawan bermodal besar akan
tetapi juga karena sulitnya memperoleh modal dengan syarat yang mudah dan
murah.
Dengan
memperhatikan persamaan dan perbedaan yang digunakan oleh Raiffaessen dan
Schultze nampak adanya perbedaan menonjol yang disebabkan oleh perbedaan latar
belakang kehidupan anggotanya. Anggota koperasi Raiffaessen terutama golongan
petani dengan latar belakang dan kebiasaan pertaniannya, sedangkan pada
koperasi Schulze, latar belakang kehidupan anggotanya adalah industri
perkotaan. Atas dasar perbedaan latar belakang itu maka ada perbedaan antara
kedua model itu antara lain pada koperasi kredit model Raiffaessen,diantara
anggota terjalin kerja sama yang amat erat sehingga segala sesuatunya bisa
berjalan dengan baik. Sementara itu pada koperasi model Schulze, administrasi
yang teratur amat menonjol, sehingga jalannya koperasi lancar.
KOPERASI PERTANIAN DENMARK
Sebagaimana di Jerman, keadaan di negeri tetangganya Denmark
diwarnai oleh hal yang sama yaitu pemilikan tanah yang luas oleh para tuan
tanah. Akibatnya penghasilan dari kaum tani tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari sehingga penghidupan para petani terasa amat memprihatinkan.
Perkumpulan Tani Kerajaan Denmark yang kemudian dibentuk mencoba memperjuangkan
pembagian tanah bagi para petani. Perjuangan itu akhirnya dipenuhi sehingga
kepada petani mulai dibagikan tanah dengan membayar ganti rugi.
Adanya Undang-Undang Wajib Belajar tahun 1814 merupakan
suatu kebutuhan yang akhirnya dianggap tonggak penting dari pendalaman ajaran
moral didalam berusaha. Karena masih kekurangan guru, para pengurus perkumpulan
tani ikut bertindak sebagai guru bagi anak-anak usia sekolah. Kesempatan
tersebut dipergunakan untuk selain mengajarkan teknik pertanian juga
mengajarkan dan menanamkan moral dan nilai-nilai luhur manusia. Akibat proses
pendidikan Petani tidak lagi bersifat apatis dan statis terhadap pembaharuan
dari luar. Para petani menjadi tanggap dan menerima pembaharuan yang diyakini
akan membawa ke arah kemajuan dan kesejahteraan.
Pada saat yang bersamaan para petani Denmark sudah terbiasa
untuk membentuk perkumpulan tani. Perkumpulan dari petani kecil (small
holders) itu cukup giat dalam usaha yang berkaitan dengan usaha kecil.
Disamping itu,untuk mendukung kegiatan pertanian didirikan spare kasse sebagai
bank tabungan pertanian. Karena modal dari spare kasse itu dikumpulkan
dari petani dan digunakan untuk kepentingan petani maka para petani merasakan
banyak manfaat dari pendirian perkumpulan tani. Maka pembentukan koperasi
pertanian di Denmark relatif lancar. Di kemudian hari gerakan koperasi di
Denmark dikenal cukup berhasil mencapai tingkat perkembangan yang mengagumkan.
Oleh karena itu,Denmark sering mendapat julukan The Mecca of the Cooperative
World atau Mekkahnya Dunia Perkoperasian. Bahkan dalam hal ini Mohammad
Hatta (Bapak Koperasi Indonesia) menjulukinya dengan Republik Koperasi, meskipun
negeri itu sebenarnya berbentuk kerajaan.
SEJARAH KOPERASI DI INDONESIA
Gerakan Koperasi di Indonesia pertama kalinya diperkenalkan
oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Dia
mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat
hutang dengan rentenir. Koperasi berbentuk bank tersebut kemudian dinamakan
Bank Penolong dan Tabungan (Hulp en Spaarbank). Koperasi ini kemudian
melayani sektor pertanian (Hulp-Spaar en Lanbouwcrediet Bank) dengan
meniru koperasi pertanian yang dikembangkan di Jerman. Koperasi tersebut
kemudian berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Oetomo dan Sarikat
Dagang Indonesia (SDI). Belanda yang khawatir koperasi akan dijadikan tempat
pusat perlawanan kemudian mengeluarkan UU No. 431 Tahun1915 yang isinya antara
lain:
1.Untuk mendirikan sebuah
koperasi maka pengurus harus membayar minimal 50 gulden.
2.Sistem usaha koperasi yang
dibuat harus menyerupai sistem koperasi yang sudah diterapkan di Eropa.
3.Pendirian koperasi tersebut harus
mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
4.Proposal pengajuan pendirian
koperasi harus menggunakan bahasa Belanda.
Adanya aturan tersebut menyebabkan koperasi yang ada saat
itu berjatuhan karena tidak mendapatkan izin Koperasi dari Belanda. Para tokoh
Indonesia mengajukan protes maka pada tahun 1927 atas prakarsa Dr. H.J Boeke,
Belanda akhirnya mengeluarkan Undang-undang No. 91 Tahun 1927 yang isinya lebih
ringan yaitu :
1.Untuk dapat mendirikan
koperasi maka pengurus hanya dikenakan biaya sebesar 3 gulden untuk meterai.
2.Proposal pengajuan pendirian
koperasi dapat menggunakan bahasa daerah.
3.Hukum dagang diberlakukan
sesuai daerah masing-masing.
4.Perizinan bisa dilakukan di daerah
setempat.
Adanya Undang-undang No.91 Tahun 1927 memberi angin segar
bagi perkembangan koperasi. Namun,kondisi ini tidak berlangsung lama karena
pada tahun 1933 Belanda kembali mengeluarkan undang-undang yang isinya hampir
sama dengan UU No. 431 sehingga mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya.
Pada tahun 1942, Jepang menduduki Indonesia. Kehadiran
Jepang sangat berpengaruh terhadap perubahan struktural bagi perkembangan
koperasi di Indonesia. Peraturan Pemerintah Militer Jepang No.23 Pasal 2
menyebutkan bahwa pendirian perkumpulan (termasuk koperasi), dan persidangan
harus mendapat persetujuan dari pemerintah setempat. Akibatnya semua koperasi
yang telah berdiri harus mendapatkan persetujuan ulang dari Suchokan.
Pemerintah Jepang juga mengharuskan koperasi menjadi kumikai. Awalnya
koperasi ini berjalan mulus. Namun, fungsinya berubah drastis dan menjadi alat
bagi Jepang untuk mengeruk keuntungan dan menyengsarakan rakyat. Kumikai
diharuskan mengumpulkan bahan-bahan kebutuhan pokok guna kepentingan Jepang
melawan Sekutu. Keadaan tersebut membuat masyarakat kecewa karena koperasi
tidak lagi dapat digunakan sebagai alat perjuangan ekonomi sehingga semangat
berkoperasi masyarakat Indonesia kembali melemah.
PERKEMBANGAN KOPERASI MASA
ORDE LAMA DAN ORDE BARU
Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947,
pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di
Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan terbentuknya Sentral Organisasi
Koperasi Rakyat Indonesia atau SOKRI. SOKRI menganjurkan untuk mengadakan
pelatihan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat. SOKRI juga
memutuskan untuk menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi Indonesia.
Koperasi
merupakan sebuah lembaga ekonomi rakyat telah lama dikenal di Indonesia, bahkan
Dr. Muhammad Hatta, salah seorang Proklamator Republik Indonesia yang dikenal
sebagai Bapak Koperasi, mengatakan bahwa Koperasi adalah Badan Usaha Bersama
yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan mereka yang umumnya
berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas dasar persamaan hak
dan kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan para anggotanya.
Setelah
Indonesia merdeka, pemerintah mulai merumuskankebijakan ekonomi yang sesuai.
Seperti yang termaktub dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang
mengisyaratkan bahwa koperasi merupakan bangun usaha yang sesuai dengan
perekonomian Indonesia. Sejalan dengan Pasal tersebut maka pemerintah kemudian
melakukan reorganisasi pada Jawatan Koperasi dan Perdagangan Dalam Negeri
menjadi jawatan yang mandiri. Urusan pengembangan koperasi selanjutnya
diserahkan sepenuhnya kepada Jawatan Koperasi. Koperasi kemudian mengalami
perkembangan yang cukup pesat sampai tahun 1950. Namun,sejak diterapkannya
sistem demokrasi liberal, koperasi kembali terombang-ambing karena dianggap
tidak sesuai dengan liberalisme. Pada perkembangan selanjutnya, koperasi
kembali dijadikan alat untuk kepentingan politik. Kondisi ini berubah setelah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan maka pemerintah juga mengeluarkan PP
No.60 Tahun 1959 yang antara lain menyatakan bahwa koperasi adalah sistem
perekonomian Indonesia sebagai alat untuk melaksanakan praktik ekonomi
terpimpin. Koperasi pada akhirnya mengalami perkembangan yang pesat karena
adanya intervensi presiden. Namun,adanya kekacauan politik yang terjadi sekitar
tahun 1960-an menyebabkan koperasi kembali digunakan untuk kepentingan kelompok
politik sehingga mengalami stagnasi.
Pada
Tahun 1965, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.14 Tahun 1965 dimana
prinsip NASAKOM diterapkan pada koperasi. Pada tahun tersebut juga dilaksanakan
Munaskop II yang bertempat di Jakarta. Munaskop II ini ditengarai sebagai
pengambilalihan koperasi oleh kekuatan-kekuatan politik sebagai pelaksana
undang-undang baru. Pada tahun 1965 juga ada kejadian yang memberi pengaruh
terhadap perkembangan koperasi di Indonesia yaitu Gerakan Tiga Puluh September
(G 30 S/PKI ) yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1967,
pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok
Perkoperasian yang mulai berlaku tanggal 18 Desember 1967. Dengan berlakunya
undang-undang ini maka semua koperasi wajib menyesuaikan diri dan dilakukan
penertiban koperasi. Undang-undang tersebut mengakibatkan rasionalisasi besar-besaran
terhadap koperasi, sehingga sebagian besar koperasi dibubarkan atau membubarkan
diri. Akibatnya terjadi penurunan jumlah koperasi dari 64.000 unit (45.000 unit
diantaranya telah berbadan hukum) tinggal menjadi 15.000 unit. Namun,pemerintah
Orde Baru membuat program koperasi yang diberi nama Koperasi Unit Desa (KUD)
yang membuat koperasi kembali berkembang. Pembentukan KUD merupakan bentuk
penyatuan beberapa koperasi pertanian yang kecil. Pada masa tersebut program
pengembangan KUD diintegrasikan dengan program pengembangan pertanian lain,
namun tidak semua KUD berjalan dengan baik. Berbagai masalah timbul dalam KUD
sebagai akibat peraturan pemerintah yang ternyata kontraproduktif terhadap
kinerja KUD sendiri.
Pada
tahun 1992, UU No. 12 Tahun 1967 kemudian disempurnakan dan diganti menjadi
Undang-undang No.25 Tahun 1992 tentang perkoperasian. Pada Undang-undang yang
baru ini pemerintah mengubah landasan mental koperasi yang bersifat kesadaran
individual dan kesetiakawanan menjadi homo economicus. Akibatnya
koperasi tidak lagi dikerjakan untuk kepentingan anggotanya tetapi bertujuan
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Keuntungan tersebut tidak selalu
dapat dinikmati oleh anggota. Selain UU No. 12 Tahun 1967, pemerintah juga
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1995 tentang Kegiatan Usaha
Simpan Pinjam oleh koperasi. Peraturan pemerintah tersebut juga sekaligus
memperjelas kedudukan koperasi dalam usaha jasa keuangan.
Dalam
teori strategi pembangunan ekonomi, kemajuan Koperasi dan usaha kerakyatan
harus berbasiskan kepada dua pilar yaitu tegaknya sistem dan mekanisme pasar
yang sehat dan berfungsinya aransemen kelembagaan atau regulasi pemerataan
ekonomi yang efektif. Namun,dalam kenyataan yang dirasakan hingga saat ini,
seringkali terjadi debat publik untuk menegakkan kedua pilar utama di atas
hanya terjebak pada pilihan kebijakan dan strategi pemihakan yang skeptis dan
cenderung mementingkan hasil daripada proses dan mekanisme yang harus dilalui
untuk mencapai hasil akhir tersebut.
PERKEMBANGAN KOPERASI PADA ERA
REFORMASI
Pada masa reformasi, jika dihitung secara kuantitatif
jumlah koperasi di Indonesia cukup banyak. Berdasarkan data Departemen Koperasi
& UKM pada tahun 2004 tercatat 130.730 koperasi, tetapi yang aktif hanya
mencapai 28,55 persen, sedangkan yang menjalankanrapat tahunan anggota (RAT)
hanya 35,42 persen saja. Dengan demikian, dari segi kualitas, keberadaan
koperasi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mengikuti
tuntutan lingkungan dunia usaha dan lingkungan kehidupan dan kesejahteraan para
anggotanya. Pangsa koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif
kecil, dan ketergantungan koperasi terhadap bantuan dan perkuatan dari pihak
luar, terutama Pemerintah, masih sangat besar. Perkembangan koperasi pada masa
reformasi terutama yang terjadi di daerah provinsi mengalami pasang surut,
kadang meningkat namun tidak jarang menurun.
Data Koperasi 2017
Sumber : PPT Sejarah Koperasi & Revolusi Industri Hutama M Anhar
Daftar
Pustaka
Hamid, Edy Suandi.
(2006).Perekonomian Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Hudiyanto. (2002). Koperasi:
Ideologi dan Pengelolaannya. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Ropke,Jochen. (2003). The
Economic Theory of Cooperative. Terjemahan. Jakarta: Salemba Empat.
Sitio, Arifin dan Halomoan
Tamba. (2001). Koperasi, Teori dan Praktik. Jakarta:Erlangga.
Sukamdiyo, Ign. (1997).
Manajemen Koperasi Pasca UU No. 25 Tahun 1992. Jakarta: Erlangga.
Supardjiman. (1964). Ideologi
Koperasi, Membentuk Masyarakat Adil dan Makmur. Jakarta:Ganco.
Anhar, Hutama Muhammad. (2018)
Sejarah Koperasi & Revolusi Industri 4.0. Disajikan dalam Pendidikan Dasar
Kopma GWK 2018
www. wikipedia.org
www.depkop.go.id
0 comments:
Silahkan Bacot