Wednesday, December 4, 2019

SEJARAH KOPERASI DUNIA Oleh Hutama Muhammad Anhar




SEJARAH KOPERASI DUNIA
Oleh Hutama Muhammad Anhar

LATAR BELAKANG TIMBULNYA ALIRAN KOPERASI
            Dalam konteks historis kita mengenal adanya dua sistem ekonomi ekstrem yaitu sistem kapitalisme dan sosialisme. Pada perkembangannya selanjutnya muncul sistem ekonomi campuran yang mencoba menggabungkan kedua sistem ekstrem tersebut. Sejarah koperasi memang tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan perkembangan sosialisme yang merupakan antitesis dari kapitalisme yang berkembang di Eropa. Memburuknya kinerja kapitalisme yang ditandai dengan terjadinya depresi ekonomi dengan indikasi banyaknya pengangguran dan kelangkaan barang, mendorong munculnya gerakan dari orang-orang yang tertindas ekonominya seperti kaum buruh untuk mewujudkan ide tentang koperasi.

            Adanya perbedaan sistem perekonomian dalam pemerintahan akan mempengaruhi aliran yang dianut oleh koperasi. Misalnya, di Indonesia, ideologi Pancasila dan sistem perekonomian yang terdapat di dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 akan memberikan warna dan misi dari koperasi di Indonesia. Oleh karena itu, sistem perekonomian yang dianut oleh suatu negara akan berkaitan erat dengan aliran koperasi yang ada pada negara tersebut. Secara garis besar Paul Hubert Casselman membagi aliran koperasi menjadi 3 aliran yaitu aliran Yardstick, aliran sosialis dan aliran persemakmuran.
          Aliran Yardstick pada umumnya dijumpai pada negara yang memiliki ideologi kapitalis atau yang menganut sistem perekonomian liberal. Menurut aliran ini koperasi dapat menjadi kekuatan untuk mengimbangi, menetralisasikan dan mengoreksi berbagai kebutuhan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme. Walaupun demikian, aliran ini menyadari bahwa organisasi koperasi sebenarnya kurang memiliki peranan penting dalam masyarakat, khususnya dalam sistem dan struktur perekonomiannya. Hubungan pemerintah dengan gerakan koperasi bersifat netral. Hal ini berarti pemerintah tidak melakukan campur tangan terhadap keberlangsungan hidup koperasi di tengah masyarakat. Pemerintah memberlakukan koperasi dengan swasta secara seimbang dalam pengembangan usahanya sehingga maju tidaknya koperasi tetap terletak di tangan anggota koperasi sendiri. Pengaruh aliran Yardstick ini cukup kuat terutama di negara-negara barat dimana industri berkembang dengan pesat di bawah sistem kapitalisme antara lain seperti Amerika Serikat, Perancis, Swedia, Denmark, Jerman, dan Belanda.
          Berbeda dengan aliran Yardstick maka lahirnya aliran sosialis ini tidak terlepas dari berbagai keburukan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme. Karena itu pada abad XIX pertumbuhan koperasi di negara-negara barat sangat didukung oleh kaum sosialis. Menurut aliran ini koperasi dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, menyatukan rakyat lebih mudah melalui organisasi koperasi. Akan tetapi,dalam perkembangannya, kaum sosialis kurang berhasil memanfaatkan koperasi bagi kepentingan mereka. Kemudian kaum sosialis diantaranya berkembang menjadi kaum komunis mengupayakan gerakan koperasi sebagai alat sistem komunis sendiri. Koperasi dijadikan sebagai alat pemerintah dalam menjalankan program-programnya sehingga otonomi koperasi menjadi hilang. Aliran ini banyak dijumpai di negara Eropa Timur dan Rusia.
Pada aliran Persemakmuran, koperasi dipandang sebagai sarana yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa upaya untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki rakyat terutama yang memiliki skala kecil akan lebih tepat dilakukan dengan media koperasi. Penganut aliran ini meyakini bahwa organisasi ekonomi sistem kapitalis tidak akan menjadi sokoguru perekonomian. Sebaliknya mereka menyatakan bahwa koperasi memegang peranan utama dalam struktur perekonomian masyarakat. Pemerintah dalam hal ini berperan sebagai mitra (partnership) yang menciptakan iklim yang kondusif agar koperasi tumbuh dengan baik.








TERJADINYA REVOLUSI INDUSTRI
            Perkembangan industri yang terjadi di negara-negara Eropa cenderung memprioritaskan kaum kapitalis yang memiliki sifat individualistis. Hal ini membawa peluang pada tujuan utamanya yaitu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya (profit maximization) dari pemilik faktor produksi yang lain yaitu pemilik tanah dan pekerja. Sebelum terjadinya revolusi industri, struktur pasar pada masa tersebut masih mendekati pada struktur pasar persaingan sempurna yang ditandai oleh mudahnya penjual dan pembeli bebas masuk ke dalam pasar. Perusahaan-perusahaan yang ada dalam struktur pasar tersebut tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan harga karena harga lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar.
          Pada kondisi ini, produsen tidak bisa menentukan tingkat harga namun sebagai price taker. Tinggi rendahnya harga merupakan hasil dari mekanisme pasar sehingga keuntungan yang didapatkan hanya sedikit. Di sisi lain,kondisi tersebut memungkinkan tercapainya kesejahteraan masyarakat karena konsumen menikmati harga yang rendah, sedangkan pemilik faktor produksi dibayar dengan tingkat harga yang memadai
          Perubahan ekonomi terjadi ketika ditemukannya mesin-mesin baru dalam revolusi industri. Sistem pasar berubah dari sistem persaingan sempurna menjadi persaingan monopoli. Sistem ini merupakan kebalikan dari bentuk pasar persaingan sempurna dengan karakteristik sebagai berikut. Pertama, pasar hanya dikuasai oleh satu penjual; kedua, adanya hambatan masuk (barrier to entry) ke dalam pasar; dan ketiga, tidak adanya barang substitusi yang sempurna. Adanya halangan masuk ke dalam pasar menyebabkan seorang produsen monopolis dapat memaksimalkan keuntungannya. Produsen dimungkinkan untuk menentukan harga pasar, sehingga monopolis tersebut bisa bertindak sebagai penentu harga (price setter) dalam usahanya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Pada kondisi ini produsen akan mendapatkan keuntungan (pure profit), yaitu keuntungan diatas batas normal untuk membayar biaya produksi. Pengusaha cenderung melakukan pemupukan modal (accumulation of capital).
          Pada kondisi pasar monopoli tersebut maka pengusaha dihadapkan pada dua permasalahan, disatu sisi dia harus menetapkan harga cukup tinggi sementara disisi lain ia harus membayar faktor produksi dengan tingkat yang cukup rendah dan menggunakan sumber daya secara tidak efisien. Upah yang rendah tersebut menyebabkan terjadinya keresahan dikalangan buruh sehingga mereka bersatu dan Adam Smith menciptakan serikat buruh untuk menghadapi kapitalisme. Upaya Smith kemudian diteruskan oleh Karl Marx yang terkenal dengan aliran sosialisme yang pada intinya menganjurkan agar negara mengelola keuntungan dan tidak hanya dimonopoli oleh perorangan. Oleh karena itu,perlu diwujudkan koperasi sebagai wahana untuk mengembangkan peran swadaya dan kebersamaan kaum buruh.

TIMBULNYA KOPERASI PERINTIS ROCHDALE
Dampak berkembangnya industri yang sangat cepat menyebabkan kaum buruh kesulitan dalam mempertahankan perekonomiannya. Kondisi ini menyebabkan Robert Owen, seorang direktur pabrik tenun, dan William King tergerak untuk memberikan pertolongan. Robert Owen mendorong dan memberikan fasilitas bagi berdirinya koperasi bagi buruh pabriknya dengan memberikan monopoli bagi pendirian toko-toko disekitar pabriknya. Sementara itu William King, seorang dokter, mendorong buruh untuk berkoperasi. Usaha perkoperasian yang dirintis pada tahun 1928 berkembang cepat sehingga dalam kurun waktu hanya dua tahun jumlah koperasi meningkat pesat sehingga mencapai 10 buah.
Rintisan dari Owen dan King pada akhirnya mengalami kemunduran setelah keduanya meninggal. faktor eksternal berupa rintangan dari pihak majikan yang kurang senang melihat buruh bersatu dalam koperasi dan adanya rintangan dari pedagang yang takut akan desakan usahanya. Sedangkan faktor kedua, intern yang merupakan faktor terpenting yaitu kurangnya keinsafan berkoperasi dari buruh/anggotanya. Hal ini disebabkan berdirinya koperasi pada saat itu lebih banyak karena anjuran dari orang luar, bukan buruh yang dalam hal ini adalah Owen dan King. Koperasi yang dana dan fasilitasnya berasal dari luar anggota dirasakan gagal oleh kaum buruh walaupun mereka sudah melihat beberapa aspek yang baik dari koperasi antara lain berupa adanya peningkatan kesejahteraan anggotanya. Oleh karena itu,atas kesadaran sendiri sebanyak 28 orang buruh mencoba mempelopori berdirinya koperasi di Rochdale. Mereka yang disebut Rochdale Pioneers meneliti dan menemukan kelemahan dari koperasi yang diprakarsai Owen dan King.
Setelah dievaluasi dalam Rapat Anggota ditemukan bahwa kelemahan yang disebabkan kebangkrutan koperasi sebelumnya adalah:
1. Koperasi memberikan kesempatan pada anggotanya untuk berbelanja dengan berhutang. Hal ini menyebabkan hutang anggota menumpuk sehingga akhirnya koperasi kehabisan modal.
2. Banyak anggota yang kurang setia kepada koperasi meskipun sudah disediakan toko oleh koperasi, tetapi banyak yang tidak memanfaatkan dengan berbelanja ke toko lain.
3. Seringkali ada anggota yang bersedia memasukkan modal hanya dengan tujuan untuk mendapatkan pembagian keuntungan sebanding dengan jumlah uang yang disetorkannya.
4. Adanya saingan dari toko lain yang melakukan tipu muslihat, misalnya dengan menetapkan harga yang lebih rendah. Hal ini dilakukan dengan membuat barang yang kurang bermutu

PRINSIP-PRINSIP ROCHDALE
(1) Pembelian barang secara tunai;
(2) Keuntungan dibagi atas dasar intensitas keterlibatan anggota dalam koperasi;
(3) Pemberian bunga atas modal dibatasi;
(4) Barang-barang dijual dengan harga pasar;
(5) Koperasi menyediakan barang dengan kualitas yang baik dan dengan pertimbangan yang benar.
          Dalam perkembangan koperasi prinsip Rochdale yang dijadikan landasan berkoperasi mengalami penegasan dan pengembangan. Selain lima prinsip yang sudah disebut, prinsip berikut dijadikan juga prinsip Rochdale:
1.Keanggotaan terbuka untuk umum. Tidak ada hambatan untuk masuk dan keluar dari koperasi (tidak ada barrier to entry dan barrier to exit).
2.Netral terhadap agama dan politik.
3.Satu orang satu suara (one man one vote).
4.Sebagian dari sisa hasil usaha harus dicadangkan untuk menambah modal, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Prinsip Rochdale yang berlaku secara Internasional itu kemudian dipilah menjadi dua yaitu prinsip primer dan prinsip sekunder. Prinsip primer meliputi :
a) keanggotaan berdasar sukarela;
b) Susunan dan kebijaksanaan pimpinan diatur secara demokratis;
c) laba dibagi atas imbangan jasa; dan
d) adanya pembatasan atas bunga modal.
Sementara itu,prinsip sekunder meliputi:
a) netral terhadap agama dan politik;
b) pembelian secara kontan;
c) memajukan pendidikan

KOPERASI MODEL RAIFFAESSEN
          Apabila Inggris sering disebut sebagai tempat kelahiran koperasi (koperasi konsumsi) dengan prinsipnya yang dikenal dengan Rochdale Principles maka Jerman sering disebut sebagai tempat kelahiran dari Koperasi Kredit. Hal ini ditandai dengan tercetusnya pendirian koperasi simpan pinjam di negeri itu pada pertengahan abad ke-19. Tokoh yang mendorong kelahiran koperasi itu adalah Frederick William Raiffaessen (1818-1888) dan Herman Schulze Delitzch, yang mendirikan koperasi kredit dengan pertimbangan dan atas latar belakang pemikiran yang berbeda.
          Frederich William Raiffaessen adalah seorang walikota di Flemmerfeld, Weyerbush dan terakhir di Helderdof. Dalam kedudukannya sebagai pejabat yang mengayomi rakyat, Raiffaessen merasa amat prihatin dengan kehidupan rakyat dilapisan bawah. Nasib rakyat di pedesaan amat menyedihkan, yang karena kemiskinannya mereka terjerat hutang pada tuan tanah, tengkulak dan rentenir. Atas dorongan rasa kemanusiaannya Raiffaessen berusaha meringankan beban rakyat, antara lain dengan mengadakan kumpulan simpan pinjam di kalangan petani. Dengan dibantu oleh sejumlah dermawan dikota dimana Raiffaessen bertugas, perkumpulan simpan pinjam itu dikembangkan yang akhirnya dikenal sebagai Bank Rakyat (Peoples Bank).
          Modal yang terkumpul disalurkan lewat buruh untuk keperluan petani dengan ditetapkan tingkat biaya yang relatif rendah. Usaha yang dirintis tersebut cukup banyak dirasakan manfaatnya oleh petani. Namun demikian setelah melakukan evaluasi, Raiffaessen merasa kecewa. Hal-hal yang mengecewakan itu antara lain:
1. Banyak petani yang menyalahgunakan kredit yang dimintanya untuk kegiatan yang kurang penting. Hal ini antara lain disebabkan bank tidak melakukan pengawasan atas penggunaannya dananya oleh petani;
2. Ada kecenderungan keuntungan yang didapat dari pembayaran bunga jatuh ke tangan pemilik modal;
3. Ada kecenderungan di kalangan petani untuk gemar berhutang karena persyaratannya yang relatif mudah, tanpa melihat kemampuan dan kebutuhannya;
4. Dengan model perkumpulan simpan pinjamannya ternyata para petani belum bisa terbebas dari masalah hutang.
          Untuk itu,Raiffaessen mencoba merumuskan konsep self-help (menolong diri sendiri) untuk mengembangkan koperasi. Rumusan upaya tolong sendiri akhirnya dijelaskan dalam prinsip-prinsip dan cara kerja dari koperasi yang dirintisnya sebagai berikut.
a.Usaha perkumpulan dimulai dengan anjuran agar petani suka menabung meskipun dalam jumlah yang sedikit uang yang terkumpul dari anggota ini akan bisa dimanfaatkan oleh petani yang benar-benar memerlukannya dalam bentuk pinjaman.
b.Usaha perkumpulan diadakan dalam lingkungan yang terbatas dan orang-orangnya masih bisa saling mengenal sehingga selalu ada dorongan untuk selalu bekerja sama.
c.Untuk menjaga agar pinjaman yang diberikan digunakan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuannya maka dilakukan pengawasan atas penggunaan pinjaman itu.
d.Manajemen atau pimpinan perkumpulan dipegang sendiri oleh anggota tanpa diberikan pembayaran upah.
e.Keuntungan yang diperoleh dari pembayaran bunga dijadikan milik perkumpulan dan digunakan untuk memperbesar modal atau untuk kepentingan masyarakat umum.
Dengan aturan-aturan yang diterapkannya maka koperasi kredit model Raiffaessen mengalami perkembangan yang pesat. Pada tahun 1885 terdapat 245 buah koperasi simpan pinjam berkembang menjadi 425 buah pada tahun 1888. Pada tahun 1891 jumlahnya mencapai 885 buah dan melonjak menjadi 1600 buah pada tahun 1938.

GERAKAN KOPERASI DIJERMAN
          Gerakan koperasi kredit model Raiffaessen yang terutama menangani buruh tani dan petani gurem diikuti pula dengan gerakan koperasi yang menjamin buruh industri dan pengusaha ekonomi lemah. Gerakan ini dipelopori oleh Herman Schulze dari kota Delitzsch. Schulze, ketua Komisi Perdagangan dalam Parlemen Prusia (Jerman) amat memprihatinkan kehidupan kaum buruh, tukang dan pengusaha kerajinan rakyat di Jerman. Kehidupan mereka amat memprihatinkan bukan saja karena tidak bisa bersaing dengan kaum industriawan bermodal besar akan tetapi juga karena sulitnya memperoleh modal dengan syarat yang mudah dan murah.

Dengan memperhatikan persamaan dan perbedaan yang digunakan oleh Raiffaessen dan Schultze nampak adanya perbedaan menonjol yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang kehidupan anggotanya. Anggota koperasi Raiffaessen terutama golongan petani dengan latar belakang dan kebiasaan pertaniannya, sedangkan pada koperasi Schulze, latar belakang kehidupan anggotanya adalah industri perkotaan. Atas dasar perbedaan latar belakang itu maka ada perbedaan antara kedua model itu antara lain pada koperasi kredit model Raiffaessen,diantara anggota terjalin kerja sama yang amat erat sehingga segala sesuatunya bisa berjalan dengan baik. Sementara itu pada koperasi model Schulze, administrasi yang teratur amat menonjol, sehingga jalannya koperasi lancar.

KOPERASI PERTANIAN DENMARK
          Sebagaimana di Jerman, keadaan di negeri tetangganya Denmark diwarnai oleh hal yang sama yaitu pemilikan tanah yang luas oleh para tuan tanah. Akibatnya penghasilan dari kaum tani tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga penghidupan para petani terasa amat memprihatinkan. Perkumpulan Tani Kerajaan Denmark yang kemudian dibentuk mencoba memperjuangkan pembagian tanah bagi para petani. Perjuangan itu akhirnya dipenuhi sehingga kepada petani mulai dibagikan tanah dengan membayar ganti rugi.
          Adanya Undang-Undang Wajib Belajar tahun 1814 merupakan suatu kebutuhan yang akhirnya dianggap tonggak penting dari pendalaman ajaran moral didalam berusaha. Karena masih kekurangan guru, para pengurus perkumpulan tani ikut bertindak sebagai guru bagi anak-anak usia sekolah. Kesempatan tersebut dipergunakan untuk selain mengajarkan teknik pertanian juga mengajarkan dan menanamkan moral dan nilai-nilai luhur manusia. Akibat proses pendidikan Petani tidak lagi bersifat apatis dan statis terhadap pembaharuan dari luar. Para petani menjadi tanggap dan menerima pembaharuan yang diyakini akan membawa ke arah kemajuan dan kesejahteraan.
          Pada saat yang bersamaan para petani Denmark sudah terbiasa untuk membentuk perkumpulan tani. Perkumpulan dari petani kecil (small holders) itu cukup giat dalam usaha yang berkaitan dengan usaha kecil. Disamping itu,untuk mendukung kegiatan pertanian didirikan spare kasse sebagai bank tabungan pertanian. Karena modal dari spare kasse itu dikumpulkan dari petani dan digunakan untuk kepentingan petani maka para petani merasakan banyak manfaat dari pendirian perkumpulan tani. Maka pembentukan koperasi pertanian di Denmark relatif lancar. Di kemudian hari gerakan koperasi di Denmark dikenal cukup berhasil mencapai tingkat perkembangan yang mengagumkan. Oleh karena itu,Denmark sering mendapat julukan The Mecca of the Cooperative World atau Mekkahnya Dunia Perkoperasian. Bahkan dalam hal ini Mohammad Hatta (Bapak Koperasi Indonesia) menjulukinya dengan Republik Koperasi, meskipun negeri itu sebenarnya berbentuk kerajaan.

SEJARAH KOPERASI DI INDONESIA
          Gerakan Koperasi di Indonesia pertama kalinya diperkenalkan oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. Koperasi berbentuk bank tersebut kemudian dinamakan Bank Penolong dan Tabungan (Hulp en Spaarbank). Koperasi ini kemudian melayani sektor pertanian (Hulp-Spaar en Lanbouwcrediet Bank) dengan meniru koperasi pertanian yang dikembangkan di Jerman. Koperasi tersebut kemudian berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Oetomo dan Sarikat Dagang Indonesia (SDI). Belanda yang khawatir koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan kemudian mengeluarkan UU No. 431 Tahun1915 yang isinya antara lain:
1.Untuk mendirikan sebuah koperasi maka pengurus harus membayar minimal 50 gulden.
2.Sistem usaha koperasi yang dibuat harus menyerupai sistem koperasi yang sudah diterapkan di Eropa.
3.Pendirian koperasi tersebut harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
4.Proposal pengajuan pendirian koperasi harus menggunakan bahasa Belanda.
          Adanya aturan tersebut menyebabkan koperasi yang ada saat itu berjatuhan karena tidak mendapatkan izin Koperasi dari Belanda. Para tokoh Indonesia mengajukan protes maka pada tahun 1927 atas prakarsa Dr. H.J Boeke, Belanda akhirnya mengeluarkan Undang-undang No. 91 Tahun 1927 yang isinya lebih ringan yaitu :
1.Untuk dapat mendirikan koperasi maka pengurus hanya dikenakan biaya sebesar 3 gulden untuk meterai.
2.Proposal pengajuan pendirian koperasi dapat menggunakan bahasa daerah.
3.Hukum dagang diberlakukan sesuai daerah masing-masing.
4.Perizinan bisa dilakukan di daerah setempat.
          Adanya Undang-undang No.91 Tahun 1927 memberi angin segar bagi perkembangan koperasi. Namun,kondisi ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 1933 Belanda kembali mengeluarkan undang-undang yang isinya hampir sama dengan UU No. 431 sehingga mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya.
          Pada tahun 1942, Jepang menduduki Indonesia. Kehadiran Jepang sangat berpengaruh terhadap perubahan struktural bagi perkembangan koperasi di Indonesia. Peraturan Pemerintah Militer Jepang No.23 Pasal 2 menyebutkan bahwa pendirian perkumpulan (termasuk koperasi), dan persidangan harus mendapat persetujuan dari pemerintah setempat. Akibatnya semua koperasi yang telah berdiri harus mendapatkan persetujuan ulang dari Suchokan. Pemerintah Jepang juga mengharuskan koperasi menjadi kumikai. Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun, fungsinya berubah drastis dan menjadi alat bagi Jepang untuk mengeruk keuntungan dan menyengsarakan rakyat. Kumikai diharuskan mengumpulkan bahan-bahan kebutuhan pokok guna kepentingan Jepang melawan Sekutu. Keadaan tersebut membuat masyarakat kecewa karena koperasi tidak lagi dapat digunakan sebagai alat perjuangan ekonomi sehingga semangat berkoperasi masyarakat Indonesia kembali melemah.

PERKEMBANGAN KOPERASI MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU
          Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia atau SOKRI. SOKRI menganjurkan untuk mengadakan pelatihan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat. SOKRI juga memutuskan untuk menjadikan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi Indonesia.
Koperasi merupakan sebuah lembaga ekonomi rakyat telah lama dikenal di Indonesia, bahkan Dr. Muhammad Hatta, salah seorang Proklamator Republik Indonesia yang dikenal sebagai Bapak Koperasi, mengatakan bahwa Koperasi adalah Badan Usaha Bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas dasar persamaan hak dan kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mulai merumuskankebijakan ekonomi yang sesuai. Seperti yang termaktub dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang mengisyaratkan bahwa koperasi merupakan bangun usaha yang sesuai dengan perekonomian Indonesia. Sejalan dengan Pasal tersebut maka pemerintah kemudian melakukan reorganisasi pada Jawatan Koperasi dan Perdagangan Dalam Negeri menjadi jawatan yang mandiri. Urusan pengembangan koperasi selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada Jawatan Koperasi. Koperasi kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat sampai tahun 1950. Namun,sejak diterapkannya sistem demokrasi liberal, koperasi kembali terombang-ambing karena dianggap tidak sesuai dengan liberalisme. Pada perkembangan selanjutnya, koperasi kembali dijadikan alat untuk kepentingan politik. Kondisi ini berubah setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan maka pemerintah juga mengeluarkan PP No.60 Tahun 1959 yang antara lain menyatakan bahwa koperasi adalah sistem perekonomian Indonesia sebagai alat untuk melaksanakan praktik ekonomi terpimpin. Koperasi pada akhirnya mengalami perkembangan yang pesat karena adanya intervensi presiden. Namun,adanya kekacauan politik yang terjadi sekitar tahun 1960-an menyebabkan koperasi kembali digunakan untuk kepentingan kelompok politik sehingga mengalami stagnasi.
Pada Tahun 1965, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.14 Tahun 1965 dimana prinsip NASAKOM diterapkan pada koperasi. Pada tahun tersebut juga dilaksanakan Munaskop II yang bertempat di Jakarta. Munaskop II ini ditengarai sebagai pengambilalihan koperasi oleh kekuatan-kekuatan politik sebagai pelaksana undang-undang baru. Pada tahun 1965 juga ada kejadian yang memberi pengaruh terhadap perkembangan koperasi di Indonesia yaitu Gerakan Tiga Puluh September (G 30 S/PKI ) yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia. Pada tahun 1967, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No.12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian yang mulai berlaku tanggal 18 Desember 1967. Dengan berlakunya undang-undang ini maka semua koperasi wajib menyesuaikan diri dan dilakukan penertiban koperasi. Undang-undang tersebut mengakibatkan rasionalisasi besar-besaran terhadap koperasi, sehingga sebagian besar koperasi dibubarkan atau membubarkan diri. Akibatnya terjadi penurunan jumlah koperasi dari 64.000 unit (45.000 unit diantaranya telah berbadan hukum) tinggal menjadi 15.000 unit. Namun,pemerintah Orde Baru membuat program koperasi yang diberi nama Koperasi Unit Desa (KUD) yang membuat koperasi kembali berkembang. Pembentukan KUD merupakan bentuk penyatuan beberapa koperasi pertanian yang kecil. Pada masa tersebut program pengembangan KUD diintegrasikan dengan program pengembangan pertanian lain, namun tidak semua KUD berjalan dengan baik. Berbagai masalah timbul dalam KUD sebagai akibat peraturan pemerintah yang ternyata kontraproduktif terhadap kinerja KUD sendiri.
Pada tahun 1992, UU No. 12 Tahun 1967 kemudian disempurnakan dan diganti menjadi Undang-undang No.25 Tahun 1992 tentang perkoperasian. Pada Undang-undang yang baru ini pemerintah mengubah landasan mental koperasi yang bersifat kesadaran individual dan kesetiakawanan menjadi homo economicus. Akibatnya koperasi tidak lagi dikerjakan untuk kepentingan anggotanya tetapi bertujuan mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Keuntungan tersebut tidak selalu dapat dinikmati oleh anggota. Selain UU No. 12 Tahun 1967, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.9 Tahun 1995 tentang Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh koperasi. Peraturan pemerintah tersebut juga sekaligus memperjelas kedudukan koperasi dalam usaha jasa keuangan.
Dalam teori strategi pembangunan ekonomi, kemajuan Koperasi dan usaha kerakyatan harus berbasiskan kepada dua pilar yaitu tegaknya sistem dan mekanisme pasar yang sehat dan berfungsinya aransemen kelembagaan atau regulasi pemerataan ekonomi yang efektif. Namun,dalam kenyataan yang dirasakan hingga saat ini, seringkali terjadi debat publik untuk menegakkan kedua pilar utama di atas hanya terjebak pada pilihan kebijakan dan strategi pemihakan yang skeptis dan cenderung mementingkan hasil daripada proses dan mekanisme yang harus dilalui untuk mencapai hasil akhir tersebut.

PERKEMBANGAN KOPERASI PADA ERA REFORMASI
          Pada masa reformasi, jika dihitung secara kuantitatif jumlah koperasi di Indonesia cukup banyak. Berdasarkan data Departemen Koperasi & UKM pada tahun 2004 tercatat 130.730 koperasi, tetapi yang aktif hanya mencapai 28,55 persen, sedangkan yang menjalankanrapat tahunan anggota (RAT) hanya 35,42 persen saja. Dengan demikian, dari segi kualitas, keberadaan koperasi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mengikuti tuntutan lingkungan dunia usaha dan lingkungan kehidupan dan kesejahteraan para anggotanya. Pangsa koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif kecil, dan ketergantungan koperasi terhadap bantuan dan perkuatan dari pihak luar, terutama Pemerintah, masih sangat besar. Perkembangan koperasi pada masa reformasi terutama yang terjadi di daerah provinsi mengalami pasang surut, kadang meningkat namun tidak jarang menurun. 

Data Koperasi 2017
 Sumber : PPT Sejarah Koperasi & Revolusi Industri Hutama M Anhar

Daftar Pustaka
Hamid, Edy Suandi. (2006).Perekonomian Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Hudiyanto. (2002). Koperasi: Ideologi dan Pengelolaannya. Proyek Peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Ropke,Jochen. (2003). The Economic Theory of Cooperative. Terjemahan. Jakarta: Salemba Empat.
Sitio, Arifin dan Halomoan Tamba. (2001). Koperasi, Teori dan Praktik. Jakarta:Erlangga.
Sukamdiyo, Ign. (1997). Manajemen Koperasi Pasca UU No. 25 Tahun 1992. Jakarta: Erlangga.
Supardjiman. (1964). Ideologi Koperasi, Membentuk Masyarakat Adil dan Makmur. Jakarta:Ganco.
Anhar, Hutama Muhammad. (2018) Sejarah Koperasi & Revolusi Industri 4.0. Disajikan dalam Pendidikan Dasar Kopma GWK 2018
www. wikipedia.org
www.depkop.go.id

Previous Post
Next Post

Penyuka Korea yang lagi berjuang meraih mimpi

0 comments:

Silahkan Bacot