Saturday, November 21, 2020

REVITALISASI PEREKONOMIAN DI TENGAH RESESI Oleh Hutama Muhammad Anhar

 

REVITALISASI PEREKONOMIAN DI TENGAH RESESI

Oleh Hutama Muhammad Anhar

Sebagai bahan materi Kajian Rutin Online Rayon Ekonomi & Bisnis “Giri Adi Gama” PMII Komisariat Bela Negara UPN “Veteran” Jawa Timur


            Pandemi covid 19 yang melanda dunia dewasa ini telah berdampak ke segala sektor. Tidak hanya pada sektor kesehatan saja tetapi sektor ekonomi juga terdampak pandemi ini. Efek lockdown dan pembatasan pertemuan dan perjalanan di seluruh dunia telah memukul perekonomian global. Menurut proyeksi IMF seharusnya tahun ini dunia mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 3,0% (sebelum pandemi) namun setelah melihat kondisi yang terjadi di dunia maka pertumbuhan ekonomi dunia terkoreksi menjadi -4,9% pada tahun ini. Hal ini juga berdampak pada perekonomian Indonesia, yang pada Q2 2020 tumbuh -5,32% dan membaik sedikit pada Q3 2020 menjadi -3,49%. Hampir seluruh dunia mengalami resesi ekonomi tahun ini kecuali tiga negara dengan pertumbuhan positif yaitu China, Pakistan dan Vietnam. Istilah “resesi” sempat menjadi perdebatan beberapa bulan lalu saat ekonomi Indonesia Q2 diumumkan negatif sehingga kita semua perlu pahami bersama apa sebenarnya resesi itu.

Apa Itu Resesi ?

            Media The Economic Times mendeskripsikan resesi sebagai perlambatan atau kontraksi besar-besaran dalam kegiatan ekonomi. Penurunan pengeluaran yang signifikan umumnya mengarah pada resesi. Ada beberapa indikator yang menunjukkan tanda-tanda resesi, misalnya banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan, perusahaan menghasilkan lebih sedikit penjualan, terakhir pengeluaran (output) ekonomi negara secara keseluruhan turun. 

            Pada 1974, ekonom Julius Shiskin membuat beberapa aturan praktis untuk mendefinisikan resesi. Poin paling populer adalah penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut. Ekonomi yang sehat berkembang dari waktu ke waktu, sehingga jika dua kuartal berturut-turut produksi yang menyusut menunjukkan ada masalah mendasar yang serius. Definisi ini menjadi standar umum resesi selama bertahun-tahun. 

Biro Riset Ekonomi Amerika Serikat (NBER) diakui sebagai otoritas yang menentukan tanggal mulai dan berakhirnya resesi AS. NBER memiliki definisi sendiri tentang apa yang merupakan resesi, yaitu penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran. Definisi NBER lebih fleksibel daripada aturan Shiskin untuk menentukan apa itu resesi. 

Resesi disebabkan oleh banyak hal mulai dari guncangan ekonomi secara tiba-tiba hingga inflasi yang tidak terkendali. Berikut fenomena umum yang menyebabkan terjadinya resesi:

1. Guncangan Ekonomi Secara Tiba-Tiba

Maksudnya, masalah kejutan yang menimbulkan kerusakan finansial yang serius. Salah satu contohnya wabah virus Covid-19 yang mematikan ekonomi di seluruh dunia.

 

2. Hutang yang Berlebihan

Ketika individu atau bisnis memiliki terlalu banyak hutang, biaya untuk membayar hutang dapat meningkat ke titik dimana mereka tidak dapat membayar tagihan mereka. Meningkatnya hutang dan kebangkrutan kemudian dapat membalikkan perekonomian. 

3. Gelembung Aset

Ketika keputusan investasi di dorong oleh emosi, hasil ekonomi yang buruk akan segera terjadi. Investor bisa menjadi terlalu optimis jika perekonomian kuat. 

Mantan ketua The Fed Alan Greenspan terkenal menyebut kecenderungan ini sebagai "kegembiraan irasional" dalam menggambarkan keuntungan besar di pasar saham pada akhir 1990-an. Kegembiraan irasional menggembungkan pasar saham atau gelembung real estat. Ketika gelembung itu meletus, panic selling dapat menghancurkan pasar sehingga menyebabkan resesi. 

4. Inflasi Terlalu Tinggi 

Inflasi adalah tren harga yang stabil dan naik dari waktu ke waktu. Inflasi bukanlah hal yang buruk, tetapi inflasi yang berlebihan adalah fenomena yang berbahaya. Bank Central AS bisa mengendalikan inflasi dengan menaikkan suku bunga, dan suku bunga yang lebih tinggi menekan aktivitas ekonomi.

5. Deflasi Berlebihan 

Meskipun inflasi yang tak terkendali dapat menyebabkan resesi, deflasi bisa menjadi lebih buruk. Deflasi adalah saat harga turun dari waktu ke waktu, yang menyebabkan upah menyusut, yang selanjutnya menekan harga. Ketika lingkaran umpan balik deflasi lepas kendali, orang dan bisnis berhenti mengeluarkan uang sehingga merusak ekonomi. 

Sayangnya, Bank Central AS dan ekonom hanya memiliki sedikit alat untuk memperbaiki masalah mendasar yang menyebabkan deflasi. Perjuangan Jepang dengan deflasi hampir sepanjang tahun 1990-an menyebabkan resesi yang parah di negara tersebut.  

6. Perubahan Teknologi

Penemuan baru dapat meningkatkan produktivitas dan membantu perekonomian dalam jangka panjang. Namun, kemungkinan ada periode penyesuaian jangka pendek untuk terobosan teknologi. 

Pada abad ke-19, ada gelombang peningkatan teknologi hemat tenanga kerja. Revolusi Industri membuat seluruh profesi menjadi usang, memicu resesi dan masa-masa sulit. Saat ini beberapa ekonom khawatir bahwa Artificial Intellegence (AI) dan robot dapat menyebabkan resesi lantaran pekerja kehilangan mata pencarian.

 

Apa Perbedaan Resesi dan Krisis Ekonomi ?

            Beberapa bulan lalu terjadi perdebatan di masyarakat terkait resesi dan mengkaitkannya dengan krisis ekonomi. Apakah ada perbedaannya antara resesi dan krisis ekonomi. Jawabannya adalah ada perbedaannya antara resesi dan krisis ekonomi. Resesi bisa kita baca pengertiannya di sub bagian diatas sedangkan krisis ekonomi adalah adalah keadaan yang mengacu pada penurunan kondisi ekonomi drastis yang terjadi di sebuah negara. Penyebab krisis ekonomi adalah fundamental ekonomi yang rapuh antara lain tercermin dari laju inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang macet.

Penyebabnya juga dikarenakan beban utang luar negeri yang melimpah dan melebihi kemampuan bayar, investasi yang tidak efisien, defisit neraca pembayaran yang besar dan tidak terkontrol. Krisis ekonomi sendiri dipahami sebagai adanya shock pada sistem perekonomian di suatu negara yang menyebabkan adanya kontraksi pada instrumen perekonomian di negara tersebut, seperti nilai aset ataupun harga. Gejala krisis ekonomi biasanya didahului oleh penurunan kemampuan belanja pemerintah, jumlah pengangguran melebihi 50% dari jumlah tenaga kerja, penurunan konsumsi atau daya beli rendah, kenaikan harga bahan pokok yang tidak terbendung, penurunan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung drastis dan tajam, dan penurunan nilai tukar yang tajam dan tidak terkontrol.

Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa setiap krisis ekonomi pasti diawali dengan terjadinya resesi akan tetapi sebuah resesi belum tentu akan menjadi bibit terjadinya krisis ekonomi. Sebagai contoh ekonomi Jepang dan Eropa beberapa dekade ini sering mengalami resesi akan tetapi tidak sampai menjadi prahara krisis ekonomi yang besar.

Sejarah Resesi dan Krisis Ekonomi di Indonesia

            Indonesia sudah beberapa kali melewati kondisi masa – masa sulit di bidang perekonomian. Sejak era Orde Lama hingga masa reformasi sekarang sudah banyak krisis ekonomi yang dilalui oleh bangsa ini. Berikut beberapa krisis ekonomi yang sudah dan sedang dilalui bangsa kita :

1.    Krisis Ekonomi 1966

Pada era akhir orde lama ini APBN tidak dikelola secara baik selain itu inflasi melonjak hingga mencapai 600%. Langkah kebijakan moneter yang diambil pemerintah justru mengalami kegagalan. Selain itu pengeluaran pemerintah di era demokrasi terpimpin sangat besar untuk membiayai proyek mercusuar untuk kegiatan Asian Games 1962, pembangunan ikon – ikon Jakarta seperti Senayan, Gedung DPR, Jalan Thamrin – Sudirman, Monas, Masjid Istiqlal dan penyelengaraan GANEFO pembiayaan mayoritas di dapat dari hutang pada Uni Soviet. Serta kebijakan permusuhan baik itu Trikora untuk merebut Papua dari Belanda dan Dwikora untuk mengganyang Malaysia yang juga disponsori Uni Soviet melalui hutang. Ini menjadi konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain. Kebijakan ekonomi yang diambil pada masa ini juga masih belum mampu memenuhi apa harapan pemerintan saat itu. Kebijakan – kebijakan yang diambil pada era tersebut antara lain :

  1. Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
  2. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.
  3. Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

 

 

 

2.    Krisis Ekonomi 1998

Rezim Orde Baru berhasil membenahi iklim ekonomi dan pembangunan menjadi lebih terarah berkat adanya repelita. Target – target yang ingin dicapai pemerintah jelas dan ada perencanaan untuk mencapainya. Kebijakan ekonominya diarahkan pada pembangunan di segala bidang, tercermin dalam 8 jalur pemerataan : kebutuhan pokok, pendidikan dan kesehatan, pembagian pendapatan, kesempatan kerja, kesempatan berusaha, partisipasi wanita dan generasi muda, penyebaran pembangunan, dan peradilan. Hasilnya Indonesia berhasil swasembada beras, penurunan angka kemiskinan, perbaikan indikator kesejahteraan rakyat seperti angka partisipasi pendidikan dan penurunan angka kematian bayi, dan industrialisasi yang meningkat pesat. Pemerintah juga berhasil menekan jumlah kelahiran lewat program KB dan pengaturan usia minimum pernikahan.

Namun dampak negatifnya adalah kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan ekploitasi sumber-sumber daya alam, kesenjangan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam, serta penumpukan utang luar negeri. Disamping itu, pembangunan menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang adil. Sehingga meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tapi secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh. Selama era orde baru ekonomi terpusat pada pemerintah dan kroni serta keluarga presiden. Pelaku ekonomi tidak menyebar seperti kondisi sekarang, 70% ekonomi dikendalikan pemerintah dan kroninya.  Akibatnya, ketika terjadi krisis yang merupakan imbas dari ekonomi global, Indonesia merasakan dampak yang paling buruk. Harga-harga meningkat secara drastis, nilai tukar rupiah melemah dengan cepat, dan menimbulkan berbagai kekacauan di segala bidang, terutama ekonomi.

Pada 1998, negara grup konsultatif Indonesia menarik diri untuk membantu ekonomi Indonesia, yaitu saat krisis sudah tak terhindarkan. Pertumbuhan ekonomi pun merosot menjadi minus 13,13 persen. Pada tahun itu, Indonesia menandatangani kesepakatan dengan Badan Moneter Internasional (IMF). Gelontoran utang dari lembaga ini mensyaratkan sejumlah perubahan kebijakan ekonomi di segala lini.

3.    Krisis Ekonomi 2008

Menurut Bank Indonesia (BI) dalam Laporan Perekonomian 2008, imbas krisis mulai terasa di Indonesia menjelang akhir 2008. Setelah mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 6% sampai dengan triwulan III-2008, perekonomian Indonesia mulai mendapat tekanan berat pada triwulan IV-2008.  Hal itu tercermin pada perlambatan ekonomi secara signifikan terutama karena anjloknya kinerja ekspor. Di sisi eksternal, neraca pembayaran Indonesia mengalami peningkatan defisit dan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan signifikan.
Di pasar keuangan, selisih risiko (risk spread) dari surat-surat berharga Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang mendorong arus modal keluar dari investasi asing di bursa saham, Surat Utang Negara (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Secara relatif, posisi Indonesia sendiri secara umum bukanlah yang terburuk di antara negara-negara lain. Perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh sebesar 6,1% pada 2008.
Berikut ini indikasi krisis di Indonesia ditunjukkan oleh berbagai indikator yaitu:

  • Pasar SUN mengalami tekanan hebat tercermin dari penurunan harga SUN atau kenaikan yield SUN secara tajam yakni dari rata-rata sekitar 10% sebelum krisis menjadi 17,1% pada tanggal 20 November 2008; (catatan: setiap 1% kenaikan yield SUN akan menambah beban biaya bunga SUN sebesar Rp 1,4 Triliun di APBN).
  • Credit Default Swap (CDS) Indonesia mengalami peningkatan secara tajam yakni dari sekitar 250 bps awal tahun 2008 menjadi di atas 980 bps pada bulan November 2008. Hal ini menunjukkan bahwa pasar menilai country risk Indonesia yang tinggi pada saat itu.
  • Terdapat gangguan likuiditas di pasar karena peningkatan liquidity premium akibat pelebaran bid-ask spread dalam perdagangan di pasar saham, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadi capital flight.
  • Cadangan Devisa mengalami penurunan 13% dari US$ 59,45 miliar per Juni 2008 menjadi 51.64 miliar per Desember 2008 yang mengindikasikan terjadi capital flight.
  • Rupiah terdepresiasi 30,9% dari Rp 9.840 per Januari 2008 menjadi Rp 12.100 per November 2008 dengan volatilitas yang tinggi.
  • Terdapat potensi terjadi capital flight (arus dana keluar) yang lebih besar lagi dari para deposan bank karena tidak adanya sistem penjaminan penuh (full guarantee) di Indonesia seperti yang sudah diterapkan di Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan dan Korea.

4.    Krisis Ekonomi 2020

Bank Dunia atau World Bank memperkirakan bahwa 92 persen negara di dunia akan mengalami krisis pada 2020. Hal tersebut tak lain disebabkan oleh lumpuhnya perekonomian akibat pandemi Virus Corona COvi-19. Bank dunia 2020 sudah menghitung bahwa lebih dari 92 persen negara di dunia, ada 180 negara akan krisis dan akan negatif pertumbuhannya

Kondisi ekonomi Indonesia sendiri masih jauh lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara lain. Sebab, Indonesia tergolong efektif dalam menangani dampak Covid-19 pada kuartal II 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia memang mengalami kontraksi yang cukup dalam. Namun Indonesia masih lebih baik dibandingkan India maupun Filipina. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang negatif di kuartal-II tapi dibandingkan seluruh dunia saya lebih senang di Indonesia dibandingkan dengan India misalnya sekarang. Bahkan kuartal-III kita relatif membaik dibandingkan negara lain.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan ekonomi Indonesia di 2020 minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen. Prediksi minus itu lebih dalam dari proyeksi sebelumnya di kisaran minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen.

Resesi Indonesia Saat Ini

Pandemi Covid-19 tidak hanya mengakibatkan krisis kesehatan saja, namun juga merembet ke sektor ekonomi. Tahun 2020 menjadi tahun yang berat bagi perekonomian Indonesia dan juga global. Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia dalam rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 ekonomi Indonesia tumbuh hanya tumbuh 2,97 %. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh konsumsi rumah tangga sebesar 2,7 %, investasi 1,7 %, dan ekspor-impor 0,2 %. Sedangkan pada kuartal IV 2020 ekonomi Indonesia masih tumbuh 4,97 % . Sedangkan untuk kuartal II diperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar -3,1 % atau turun dari kuartal I. Untuk sepanjang tahun 2020 menurut Kementerian Keuangan Republik Indonesia ekonomi  diperkirakan akan tumbuh diantara -0,4 – 2,3 %. Pendapatan negara juga terpukul akibat penurunan kegiatan ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini. Hingga 31 Mei 2020 pendapatan negara baru terkumpul Rp. 664,32 Triliun atau tumbuh -9,02 persen. Komponen penerimaan terdiri dari penerimaan perpajakan Rp. 444,6 Triliun, Bea Cukai Rp. 81,7 Triliun, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp. 136,9 Triliun . 

Akibat penurunan pendapatan negara, Pemerintah melakukan penarikan hutang untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah memastikan defisit APBN 2020 akan melebar hingga 6,34% atau Rp.1.039,92 triliun. Pemerintah akan melakukan revisi Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai dasar hukum pelebaran defisit pada APBN tahun 2020. Hingga 31 Mei 2020 Kementerian Keuangan telah melakukan penarikan utang pemerintah sebesar Rp. 815,66 triliun. Sebelumnya Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19). Perppu tersebut menjadi dasar Pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk penanganan pandemi covid-19.

Selain mengganggu pertumbuhan ekonomi dan keuangan negara pandemi covid-19 juga mengakibatkan terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pekerja karena tutupnya kegiatan ekonomi. Kementerian Tenaga Kerja menyatakan bahwa per 27 Mei 2020 3, pekerja sektor formal yang dirumahkan mencapai 1.058.284 pekerja dan yang di-PHK sebanyak 380.221 orang pekerja. Untuk pekerja informal yang dirumahkan dan di-PHK mencapai 318.959 orang. Sedangkan perkiraan pemerintah bisa terdapat 5,23 juta pengangguran jika kondisi ini terus berlanjut.

Resesi Indonesia mulai terdeteksi sejak pertumbuhan Q2 diumumkan dengan hasil pertumbuhan ekonomi -5,32 %. Sebelumnya pada Q1 tumbuh positif 2,97 % namun pada Q3 ekonomi kita masih mengalami kontraksi walaupun mengalami perbaikan yaitu pada angka -3,49%. Proyeksi pada Q4 ekonomi Indonesia semakin membaik sehingga pada tahun ini masih ada peluang ekonomi tumbuh positif di atas 0.

Kontraksi perekonomian terjadi lantaran baik dari sisi permintaan maupun penawaran barang dan jasa masih mengalami penurunan. Pada kuartal III tahun ini masih terjadi penurunan tingkat produksi mobil hingga 68,47 persen, meski di sisi lain terjadi peningkatan produksi jika dihitung secara kuartalan, yakni sebesar 172,78 persen. Dari sisi permintaan, penjualan mobil terjadi peningkatan hingga 362,17 persen jika dibandingkan dengan kuartal II lalu. Meski demikian, bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu, jumlah penjualan mobil di kuartal III tahun ini masih merosot 59,30 persen. Untuk penjualan sepeda motor sepanjang kuartal III juga mengalami fenomena yang sama, naik 190,75 persen secara kuartalan, namun year on year (perbandingan tahunan) masih turun 46,14 persen.

 Bila dilihat dari indikator lain, yakni produksi semen mengalami peningkatan 42,09 persen menjadi 18,01 juta ton pada kuartal III tahun ini. Produksi semen merupakan indikator yang menunjukkan pergerakan sektor konstruksi. Meski demikian, bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu, nilai tersebut masih menurun 8,57 persen. Kinerja sektor pariwisata pun belum pulih secara penuh. Jumlah wisatawan mancanegara pada kuartal III hanya sebanyak 474.062 kunjungan. Jumlah tersebut bahkan menurun 1,25 persen dibanding kuartal II. Sementara jika dibandingkan tahun sebelumnya, kontraksi terjadi lebih dalam yakni 89,18 persen dan dampaknya tentu ke sektor-sektor pendukung pariwisata seperti tingkat okupansi hotel, restoran, industri makanan minuman dan industri kreatif di daerah wisata.

 

 

Perlindungan Sosial dan Stimulus Ekonomi Hadapi Dampak Covid-19

Dalam menghadapi dampak yang ditimbulkan pandemi covid-19 Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk mendukung penanganan pandemi covid-19 serta memberikan jaring pengaman sosial dan stimulus bagi sektor ekonomi. Kebijakan tersebut dikeluarkan untuk memberi tambahan dana kesehatan untuk mengatasi pandemi covid-19. Pemerintah juga memberikan jaring pengaman sosial untuk meringankan beban dan menjaga daya beli masyarakat yang terpukul akibat pandemi covid-19. Pemerintah juga memberikan dukungan kepada sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) agar dapat bertahan di tengah kondisi pandemi covid-19. Selain itu pemerintah juga menyiapkan langkah antisipasi agar sistem keuangan Indonesia dapat bertahan menghadapi kondisi ini. Untuk mendukung kebijakan tersebut pemerintah melakukan realokasi dan refocusing anggaran APBN dan APBD 2020.

Dalam pelaksanaannya dikeluarkanlah  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) sebagai dasar pemerintah dalam melakukan realokasi dan refocusing anggaran APBN dan memberikan dukungan penanganan Covid-19, bantuan sosial, stimulus ekonomi untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan koperasi, serta antisipasi terhadap sistem keuangan. Perppu nomor 1 tahun 2020 juga menjadi fondasi bagi pemerintah, otoritas perbankan serta otoritas keuangan untuk melakukan langkah - langkah luar biasa untuk menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

Kebijakan yang diambil pemerintah dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 adalah penambahan anggaran belanja dan pembiayaan bagi APBN tahun 2020 sebesar Rp.405,1 triliun yang akan digunakan untuk (1) Belanja bidang kesehatan sebesar Rp. 75 Triliun, (2) Anggaran jaring pengaman sosial Rp. 110 Triliun, (3) Insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR) sebesar Rp 70,1 triliun, (4)  Pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional terutama restrukturisasi kredit serta penjaminan dan pembiayaan dunia usaha terutama UMKM sebesar Rp 150 triliun.

Anggaran bidang kesehatan sebesar Rp. 75 triliun akan dialokasikan untuk beberapa bidang dalam penangangan pandemi covid-19 diantaranya :

a.    Upgrade 132 rumah sakit yang dijadikan rumah sakit rujukan COVID-19.

b.    Pembelian alat-alat kesehatan seperti, ventilator, reagen, test kit, hand sanitizer, dan lainnya.

c.    Perlindungan untuk tenaga kesehatan terutama pembelian Alat Perlindungan Diri (APD).

d.    Insentif untuk dokter, perawat dan tenaga rumah sakit.

e.    Santunan kematian untuk tenaga medis.

Pemerintah mengalokasikan anggaran jaring pengaman sosial untuk penanganan pandemi covid-19 sebesar Rp. 110 triliun yang akan digunakan pada sejumlah program diantaranya :

a.    Menambah penerima manfaat PKH dari 9,2 juta keluarga menjadi 10 juta keluarga dengan kenaikan bantuan 25%. Komponen ibu hamil menjadi Rp 3 juta per tahun. Komponen anak usia dini menjadi Rp 3 juta rupiah per tahun dan komponen disabilitas menjadi Rp 2,4 juta per tahun

b.    Menambah penerima manfaat kartu sembako dari 15,2 juta keluarga menjadi 20 juta per keluarga dengan kenaikan bantuan 30% menjadi 300 ribu selama sembilan bulan.

c.    Pembebasan biaya listrik selama 3 bulan untuk 24 juta pelanggan listrik 450 VA serta diskon sebesar 50 persen biaya listrik untuk 7 juta pelanggan listrik 900 VA.

d.    Menaikkan anggaran untuk program kartu prakerja dari Rp 10 triliun menjadi Rp 20 triliun dengan penerima manfaat sebanyak 5,6 juta orang yang terkena PHK, pekerja informal serta pelaku usaha mikro dan kecil dengan insentif pasca pelatihan sebesar Rp 600 ribu dan biaya pelatihan Rp 1 juta.

e.    Dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok dengan alokasi anggaran sebesar Rp 25 triliun.

Selain itu peemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk menjaga dunia usaha dan UMKM yang akan digunakan untuk beberapa kegiatan diantaranya :

a.    Relaksasi PPh 21 yang ditanggung pemerintah sebesar 100% atas penghasilan pekerja dengan besaran sampai dengan Rp 200 juta per tahun pada sektor industri pengolahan atau manufaktur.

b.     Relaksasi PPh 22 impor yang diberikan melalui skema pembebasan kepada 19 sektor tertentu, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) dan wajib Pajak KITE Industri Kecil Menengah (IKM). Relaksasi itu diberikan selama 6 bulan mulai April dengan total perkiraan pembebasan sebesar Rp 8,15 triliun. Kebijakan di atas dilakukan untuk memberikan ruang cashflow bagi industri sebagai kompensasi switching cost (biaya sehubungan perubahan negara asal impor).

c.    Relaksasi PPh 25 yang diberikan melalui skema pengurangan pajak sebesar 30% kepada 19 sektor tertentu, wajib pajak KITE, dan wajib pajak KITE-IKM selama 6 bulan mulai April dengan total perkiraan pengurangan sebesar Rp 4,2 triliun.Keempat, relaksasi berupa restitusi PPN yang dipercepat atau pengembalian pendahuluan bagi 19 sektor tertentu, wajib pajak KITE, dan wajib pajak KITE-IKM.

d.    Restitusi PPN dipercepat diberikan selama 6 bulan mulai April dengan total perkiraan besaran restitusi sebesar Rp 1,97 triliun. Tidak ada batasan nilai restitusi PPN khusus bagi para eksportir. Sementara bagi non eksportir, besaran nilai restitusi PPN ditetapkan paling banyak Rp 5 miliar.

e.    Penundaan pembayaran pokok dan bunga untuk semua skema KUR yang terdampak COVID-19 selama 6 bulan.

f.     Penurunan tarif PPh Badan menjadi 22% untuk tahun 2020 dan 2021, serta menjadi 20% mulai tahun 2022.

g.    Pemberian fasilitas subsidi bunga untuk UMKM sebesar Rp 34,15 triliun mencakup 60,66 juta rekening penerima bantuan.

h.    Dukungan lainnya dari pembiayaan anggaran untuk mendukung pemulihan ekonomi.

Selain itu Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK) juga menerbitkan beberapa kebijakan seperti :

a.    Adanya keringanan atau penundaan pembayaran kredit atau leasing hingga Rp 10 miliar termasuk untuk UMKM dan para pekerja informal selama satu tahun.

b.    Keringanan atau penundaan pembayaran kredit atau leasing tanpa adanya batasan plafon sesuai dengan kemampuan pembayaran debitur dan telah disepakati oleh bank atau lembaga yang mengadakan leasing tersebut.

Pemerintah juga menyalurkan bantuan sosial berupa sembako bagi 1,2 juta warga di DKI Jakarta dan sekitarnya selama tiga bulan. Pemerintah juga meluncurkan program BLT dana desa sebagai bantuan bagi masyarakat desa yang diambil dari anggaran dana desa.

            Selain itu pemerintah juga memberikan bantuan subsidi upah bagi pekerja dengan gaji dibawah 5 juta, bantuan subsidi upah bagu guru dan tenaga pendidik non PNS serta hibah bagi sektor pariwisata. Pemerintah juga mengesahkan UU Cipta Kerja sebagai salah satu upaya luar biasa akselerasi birokrasi demi meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia baik dalam kondisi saat ini maupun ke depannya.

 

 

 

 

Prospek Ekonomi Nasional Kedepan

 

            Tahun ini memang masih berat dan penuh ketidakpastian walaupun beberapa indikator ekonomi mulai mengalami perbaikan. Diharapkan pada Q4 2020 ekonomi kita semakin baik lagi bahkan dapat tumbuh secara positif.

            Bank Indonesia (BI) memproyeksi kan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,8% sampai 5,8% pada 2021. Proyeksi ini jauh lebih tinggi dari target yang dipatok pemerintah dalam RAPBN 2021 sebesar 4,5% hingga 5,5%. Perkiraan pemulihan ekonomi Indonesia semakin baik karena pengaruh stimulus fiskal oleh Pemerintah dan kebijakan perbaikan ekonomi global, dan kebijakan akomodatif BI. Selain itu Pemulihan produksi dan investasi dengan kemajuan dalam restrukturisasi kredit dunia usaha dan implementasi UU Cipta Kerja menjadi salah satu pendorong. Prospek ekonomi yang membaik di tahun depan, didukung oleh perbaikan ekonomi global, yang diperkirakan tumbuh positif sekitar 5,4% di tahun depan, dan tahun ini sebesar 4,9%.

Kendati begitu tahun depan ketidakpastian keuangan masih akan berlanjut berkaitan dengan kekhawatiran terhadap terjadinya gelombang kedua pandemi Covid-19 prospek pemulihan ekonomi global. Kenaikan tensi geopolitik Amerika Serikat (AS) Tiongkok dapat menahan aliran modal ke negara berkembang dan memberi tekanan pada nilai tukar negara berkembang termasuk Indonesia.

Sementara itu,sisi stabilitas eksternal juga diproyeksi terus mengalami perbaikan, mulai dari indikator Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), inflasi, hingga stabilitas rupiah. Lantaran indikator NPI alami surplus cukup tinggi di kuartal II sebesar US$ 9,2 miliar. Defisit transaksi berjalan juga diperkirakan akan lebih rendah di bawah 1,5% Produk Domestik Bruto (PDB) sehingga dapat mendukung ketahanan eksternal. Kemudian untuk cadangan devisa Indonesia akhir Juli 2020 juga dilaporkan meningkat jadi US$ 135,1 miliar sehingga di atas standar kecukupan internasional.

Laju nilai tukar rupiah relatif stabil dan terkendali sesuai mekanisme pasar. Rupiah menguat 13,82% sejak pada 23 Maret saat puncak dampak ekonomi karena pandemi Covid-19. Keseluruhan tahun 2021 asumsi pemerintah dalam penyusunan APBN 2021 dimana rata rata nilai tukar rupiah Rp 14.600 per dolar AS masih sejalan perkiraan BI sekitar Rp 13.900 -14.700 per dolar AS.  Indikator inflasi juga tetap rendah, bahkan berada di bawah kisaran sasaran inflasi 2020 sebesar 2-4%. Pada Agustus 2020, Badan Pusat Statistik telah melaporkan terjadi deflasi dan inflasi secara tahunan yang rendah sebesar 1,3%. Hal ini seiring melambatnya permintaan di tengah panen raya, serta konsistensi kebijakan Bank Indonesia dalam menjaga ekspektasi inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah. Bank Indonesia tetap konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah ,untuk mengendalikan inflasi tetap rendah dalam sasarannya sebesar 3 plus minus 1% di tahun 2021 sehingga dapat mendukung akselerasi pertumbuhan.

 

 

 

 

Sumber

https://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_228320.aspx

https://investor.id/business/bi-proyeksikan-pertumbuhan-ekonomi-2021-hingga-58

https://money.kompas.com/read/2020/11/05/153300526/indonesia-resmi-resesi-ini-faktor-yang-bikin-ekonomi-ri-kuartal-iii-kembali

https://www.bareksa.com/berita/berita-ekonomi-terkini/2020-09-24/indonesia-akan-resesi-ini-prediksi-ekonomi-2020-versi-kemenkeu-oecd-hingga-bank-dunia

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4365825/180-negara-di-dunia-diprediksi-krisis-pada-2020-bagaimana-indonesia

https://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d-2343208/ini-penyebab-ri-krisis-di-2008-miripkah-dengan-kondisi-sekarang

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5121402/resesi-krisis-dan-depresi-ekonomi-apa-bedanya

https://ekonomi.bisnis.com/read/20201105/9/1313933/apa-itu-resesi-ekonomi-ini-faktor-penyebabnya

 




Previous Post
Next Post

Penyuka Korea yang lagi berjuang meraih mimpi

1 comment:

Silahkan Bacot