Monday, September 7, 2020

CUAP - CUAP : PERLUKAH PENYEDERHANAAN VARIAN BBM ?

 

            Akhir – akhir ini wacana penyederhanaan varian BBM menjadi salah satu perbincangan yang patut diberi atensi karena dampak yang akan ditimbulkan karena kebijakan ini. Wacana ini dicetuskan oleh PT. Pertamina (Persero) untuk memenuhi ketentuan pada Permen LHK nomor 20 tahun 2017 yang menyatakan bahwa BBM yang dijual harus memiliki angka oktan (RON) minimal 91 dan kandungan sulfur minimal 50 ppm. Dalam perkembangannya PT. Pertamina (Persero) mewacanakan untuk menghapus BBM jenis premium dan pertalite karena memiliki RON dibawah 91.

            Sebenarnya wacana penyederhanaan BBM sudah bergulir sejak era Presiden SBY. Namun pemerintah baru mulai serius saat BBM jenis pertalite diluncurkan pada tahun 2015 lalu. Pertalite sendiri memiliki RON 91 atau diatas Premium yang memiliki RON 88 dan dibawah Pertamax yang memiliki RON 92. Dengan adanya BBM jenis pertalite sebenanrnya mampu menggeser konsumsi masyarakat yang tadinya menggunakan BBM bersubsidi jenis premium berganti menjadi pertalite yang tidak disubsidi. Walaupun harganya lebih mahal akan tetapi RON yang lebih tinggi diyakini bisa bermanfaat baik bagi mesin serta lebih ramah lingkungan. Bahkan pada tahun 2019 menurut Badan Pengatur Hulu Minyak dan Gas (BPH Migas) konsumsi premium turun sebesar 35 % disisi lain konsumsi pertalite dan pertamaxseries serta dex series meningkat. Faktor penunjang peningkatan konsumsi BBM non subsidi ini lebih disebabkan karena harganya yang cenderung turun dalam beberapa tahun terakhir akibat rendahnya harga minyak global.

            Jika merujuk pada kebijakan lingkungan dunia berdasarkan Perjanjian Paris yang bertujuan menurunkan emisi CO2 dunia maka penghapusan BBM dengan RON dibawah 91 akan berdampak bagi penurunan emisi gas rumah kaca. Selain itu kendaraan keluaran diatas tahun 2010 sudah menerapkan standar EURO sehingga mesinnya akan lebih cocok menggunakan BBM dengan RON diatas 91. Negara yang menggunakan BBM dibawah RON 91 di dunia pun hanya tersisa 7 negara saja yaitu Bangladesh, Colombia, Mesir, Indonesia, Mongolia, Ukraina dan Uzbekistan.

            Namun jika dasar kebijakan tersebut adalah untuk memperbaiki lingkungan dan tingkat emisi seperti amanat Permen LHK nomor 20 Tahun 2017 maka kebijakan penghapusan BBM dengan RON dibawah 91 adalah kebijakan yang primitif. Justru kebijakan yang perlu disiapkan pemerintah harusnya bukan hanya menghapus premium dan pertalite namun juga harus sudah menyiapkan langkah untuk menghapus pertamaxseries, dexseries dll. Mengapa demikian ? Karena memang dewasa ini energi dari minyak bumi semakin lama akan semakin ditinggalkan selain karena berdampak buruk bagi lingkungan namun juga karena tidak dapat diperbaharui maka dalam waktu dekat juga akan habis. Pemerintah harus sudah menyiapkan langkah untuk penggunaan energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional tidak hanya untuk listrik tapi juga untuk BBM. Indonesia harus terlibat dalam perlombaan pengembangan teknologi kendaraan listrik, bukan karena gengsi – gengsian atau apa tapi karena memang ke depan dunia ini akan mengarah ke penggunaan kendaraan listrik sehingga Indonesia jangan sampai ketinggalan dalam pengembangan kendaraan listrik.

            Dalam jangka pendek pemerintah harus meningkatkan penggunaan bahan bakan nabati (BBN) dalam bauran energi nasional. Tidak cukup dengan hanya menggunakan program B30 saja namun Indonesia harus mengarah ke program B100 secepatnya. Apalagi sekarang katalis BBN sudah bisa diproduksi di dalam negeri sendiri serta percobaan B100 juga menunjukkan hasil positif dalam pengujian sehingga tidak ada alasan untuk menunda program ini. Indonesia juga tidak kekurangan bahan baku untuk membuat BBN karena negara kita adalah penghasil salah satu minyak nabati terbesar di dunia yaitu CPO. Banyak negara sudah sukses mengembangkan BBN nya contohnya negara – negara Eropa dengan BBN dari minyak biji bunga matahari, Amerika Serikat dengan minyak etanol dari tebu dan jagung atau Brasil dengan etanol dari tebu.

            Jika kita melihat contok ke negara Eropa maupun AS mungkin tidak sebanding karena mereka adalah negara maju. Namun jika melihat ke Brasil rasanya bisa menjadi contoh yang tepat karena kita sama – sama negara berkembang. Brasil mulai mengembangkan BBN dari tetesan tebu sejak tahun 1980. Saat itu terjadi krisis minyak akibat embargo minyak negara – negara OPEC yang didominasi negara Islam terhadap AS karena dukungannya terhadap Israel. Akibatnya harga minyak yang sebelumnya dilevel belasan dollar melonjak hingga 800 kali lipat menjadi 85 dollar/barrel. Brasil yang tertekan dengan harga minyak yang tinggi mencetuskan kebijakan BBN menggunakan minyak alkohol dari tetesan tebu untuk menghadapi kondisi tersebut. Dengan konsistensi maka kebijakan tersebut membuahkan hasil hingga sekarang, saat ini 90% kebutuhan energi BBM Brasil dipenuhi dari BBN dari tetes tebu. Selain lebih murah juga dapat diproduksi sendiri apalagi Brasil adalah penghasil tebu terbesar di dunia sehingga mereka tidak menghadapi kendala pada bahan baku.

            Indonesia sebagai penghasil terbesar CPO harus mengambil kesempatan ini untuk mulai mentrasformasi BBM kita secara keselurahan dengan meningkatkan penggunaan BBN dari minyak sawit. Wacana penghapusan BBM dibawah RON 91 adalah program dengan niat yang baik, program bauran BBN 30% atau B30 adalah terobosan yang bagus, rencana program B100 adalah langkah maju kita menuju kemandirian energi tetapi pemanfaatan energi listrik dalam transportasi adalah tujuan kita untuk menuju bangsa yang beradab di era teknologi ke depannya.

            Melihat kondisi sekarang ini pertalite sudah menggantikan sebagian besar peran premium ditambah kondisi ekonomi yang berat di era pandemi jelas penghapusan bukan pilihan yang tepat. Tapi bukan berarti dengan tidak dihapusnya BBM dibawah RON 91 kita berhenti berinovasi dalam pemanfaatan CPO sebagai BBN atau kita berhenti dalam pengembangan kendaraan berbasis listrik. Kita harus tetap mengembangkan hal tersebut karena minyak bumi dan segala energi tidak terbarukan lainnya bukan hal yang abadi dan tidak akan bertahan selamanya. Tetapi inovasi – inovasi yang dihasilkan manusia bisa bertahan bahkan hingga 100 tahun bahkan lebih. Mari kita dorong pemanfaatan BBN dan pengembangan kendaraan listrik sebagai subtitusi dari bahan bakar minyak yang semakin langka, tidak ramah lingkungan dan efisien. Karena kita semua umat manusia tidak mungkin bertahan selamanya dengan minyak bumi.

           

Previous Post
Next Post

Penyuka Korea yang lagi berjuang meraih mimpi

2 comments:

  1. Mantap mas har, dulu kyaknya udh pernah bahas ini deh di rayon, waktu itu mas hari juga bahas tentang Arab saudi yg sudah mempersiapkan apabila sektor yg terenting bagi mereka minyak akan habis dan juga tdk akan lama lagi..semoga indonesia segera fokus pada bbn dan kendaraan yg berbasis listrik.

    ReplyDelete

Silahkan Bacot