Momen pandemi Covid-19 adalah momen yang berat bagi banyak keluarga di seluruh dunia. Mulai dari kehilangan pekerjaan, kehidupan sosial, momen – momen berharga hingga kehilangan orang tersayang. Keluarga kami pun juga mengalami hal yang sama. Tepat 21 Juli, empat tahun yang lalu, kami kehilangan sosok kepala keluarga—Bapak—yang juga sosok teman diskusi kami selama ini.
Ini
adalah pertama kalinya penulis bisa menuangkan momen tersebut dalam bentuk tulisan.
Mungkin terasa aneh, karena butuh usaha ekstra untuk mengingat kembali salah
satu fase paling rumit dalam hidup penulis.
Setelah diagnosis Covid-19 oleh pihak tenaga medis, Bapak
sempat menjalani isolasi mandiri selama beberapa hari. Namun karena memiliki
penyakit komorbid, kondisi beliau memburuk dan akhirnya dirujuk ke fasilitas kesehatan
untuk mendapat penanganan lebih lanjut dengan mesin ventilator. Sayangnya
keadaan beliau terus memburuk hingga akhirnya jatuh koma dan berpulang pada malam
hari tanggal 21 Juli, empat tahun yang lalu.
Awalnya, tidak terasa ada syok yang berat. Kami
sekeluarga pulang malam itu sambil menunggu proses pemulasaran jenazah dan
pemakaman yang akan dilakukan keesokan harinya. Anehnya, malam itu kami takut
tidur di kamar masing - masing dan akhirnya tidur bersama di ruang tengah.
Rasanya seperti biasa saja, seolah Bapak masih di rawat, dan besok kami akan
menjenguk lagi, seperti rutinitas selama beliau dirawat. Bahkan saat pemakaman
dan seminggu tahlilan, semuanya terasa normal. Kami masih menerima tamu yang datang
melayat. Perasaan waktu itu hanya seperti Bapak sedang dinas luar kota, belum
pulang ke rumah.
Namun, seminggu setelah kepergian Bapak, barulah Ibu
mengalami syok berat. Tanpa riwayat kesehatan sebelumya, beliau tiba – tiba jatuh
sakit. Karena kondisi yang memburuk, penulis bahkan sempat mempersiapkan diri
untuk kemungkinan terburuk.
Hampir
dua bulan Ibu tidak bisa melakukan apa pun, termasuk bekerja. Namun, di tengah
kondisi sulit itu kami mendapatkan rejeki yang luar biasa. Salah satu tetangga
kami, yang sejak Bapak tiada rutin berkunjung, akhirnya membawa Ibu ke rumahnya dan
merawatnya hampir selama dua bulan. Sekarang, mereka bukan sekedar tetangga, mereka sudah menjadi
keluarga bagi kami di perantauan. Seolah setelah Allah mengambil Bapak, Ia
membuka pintu rejeki lain dari arah kami tidak sangka.
Salah satu hal yang membuat penulis percaya akan adanya
keajaiban adalah saat menjelang peringatan 40 hari kepergian Bapak, Ibu tiba –
tiba pulih total dan kembali aktif menjalani aktifitas sehari - hari. Setelah
itu, hampir semua barang milik Bapak dikumpulkan oleh Ibu dan dibagikan kepada mereka
yang membutuhkan. Barang terakhir yang tersisa adalah mobil keluarga, yang akhirnya
berhasil dijual bulan lalu. Mungkin, itu adalah salah satu cara Ibu untuk sembuh:
dengan melihat peninggalan Bapak tetap berguna bagi orang lain.
Penulis sendiri awalnya tidak merasa kehilangan secara
mendalam, karena masih ada Ibu dan adik. Saat itu, penulis merasa perlu mengambil
peran dalam keluarga. Namun, perasaan hampa baru benar – benar mucul beberapa
bulan kemudian saat kehilangan tempat diskusi dalam hidup, termasuk soal
masa depan.
Kehilangan
arah hidup adalah hal yang berat. Meskipun Ibu masih ada, tidak semua hal bisa
dibicarakan dengannya. Akhirnya, penulis memilih untuk bekerja dan perlahan
melupakan impian lama yang dulu sempat dibicarakan bersama Bapak. Butuh waktu lama
untuk menemukan kembali arah dan tujuan hidup setelah melalui banyak hal.
Banyak hal terjadi selama empat tahun sejak kepergian
Bapak. Karier Ibu berkembang pesat, bahkan mencapai posisi yang melampaui
pencapaian Bapak selama hidup. Adik penulis diterima di kampus ternama “IPB” sesuatu yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh
Bapak. Dan penulis, setelah berproses di dunia kerja dan menghadapi realitas
hidup, akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 tahun ini, mengejar
impian Bapak agar penulis untuk mengabdi sebagai dosen.
Tidak mudah memang menjalani empat tahun terakhir ini. Namun,
berkat dukungan keluarga dan sahabat semua bisa dilalui hingga titik ini. Jalan
depan jelas masih panjang dan tak akan selalu mulus, tapi kami percaya Bapak,
meski telah tiada masih memberi semangat untuk terus melangkah.
Bagi siapa pun yang sedang mengalami kehilangan, ingatlah
bahwa kehilangan tidak harus menghentikan langkahmu. Justru dari situ, kamu
bisa menemukan versi baru dirimu yang lebih kuat, lebih bijak dan lebih tangguh.
Empat tahun telah berlalu namun kenangan tentang Bapak akan terus hidup dalam
doa, langkah dan setiap keputusan yang diambil.
Bumi akan terus berputar.
Dan kita pun harus terus hidup, sebab hidup terlalu berharga untuk disia -
siakan.
Semangat bro har
ReplyDelete